Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
Judul Percobaan
Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
Tujuan Percobaan
Menentukan tetepan distribusi iod dalam pelarut air-kloroform dengan cara ekstraksi Batch.
Landasan Teori
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut) di antara 2 fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organic maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis makro maupun mikro (Soebagio, 2002: 34).
Dalam ekstraksi berlaku hukum distribusi, menyatakan bahwa jika ke dalam system dua cairan tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka senyawa ini akan terdistribusi ke dalam dua cairan tersebut (Tim Dosen Kimia Analitik, 2010; 5 ).
Nernst pertama kalinya member pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi ketika tahun i891 ia menunjukkan bahwa suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara dua cairan yang tidak dapat bercampur sedemikian rupa sehingga angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperature tertentu (Underwood, 1986; 461).
Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebutmaka akan terjadi pembagian kelarutan (Soebagio, 2002:34).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperature yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantungpada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Svehla, 1990; 140).
Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan berbagai rumus sebagai berikut : Kd= C2/c1 atau Kd= Co/Ca dengan Kd = Koefisien distrribusi, dan C1, C2, Co, dan Ca adalah konsentrasi solute pada pelarut 1,2 organik dan air (Soebagio, 2002: 34).
Sesuai dengan kesepakatan, konsentrasi solute dalam pelarut organic dituliskan di atas dan konsentrasi solute dalam pelarut di tuliskan di bawah. Dari rumus tersebut jika harga KD besar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organic begitu pula terjadi sebaliknya. Rumus tersebut di atas hanya berlaku bila ; (a) solute tidak terionisasi dalam salah satu pelarut, (b) solute tidak berasosiasi dalam salah satu pelarut, dan (c) zat terlarut tidak dapat bereaksi dengan salah satu pelarut atau adanya reaksi-reaksi lain (Soebagio, 2002: 34-35).
Hukum Fase Gibb’s menyatakan bahwa P + V = C = 2 dimana P = fase, C = komponen, V = derajat kebebasan. Pada ekstraksi pelarut, kita mempunyai P = 2, yaitu fase air dan organic, C = 1, yaitu zat terlarut di dalam pelarut dan fase air pada temperature dan tekanan tetap, sehingga V = 1. Jadi kita dapatkan ; 2 + 1 = 1 + 2, yaitu P + V = C + 2 (Khopkar, 2007; 85).
Menurut hukum distribusi Nernst, jika [X1] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 1 dan [X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan X1 dan X2 di dapat KD K_D= ([X_2])/([X_1]) dimana KD = koefisien partisi. Partisi atau koefisien distribusi ini tidak bergantung pada konsentrasi total zat terlarut pada kedua fase tersebut. Pada persamaan di atas, kita tidak menuliskan koefisien aktivitas zat pada fase organic maupun fase air (Khopkar, 2007; 85-86).
Iod mampu larut dalam air dan juga dalam kloroform. Akan tetapi, perbedaan kelarutannya dalam kedua pelarut tersebut cukup besar. Dengan mengekstraksi larutan iod dalam air ke dalam kloroform, menghitung konsentrasi awal dari iod dalam air dengan cara titrasi, maka dapat diperoleh konsentrasi iod dalam kedua pelarut tersebut, sehingga koefisien distribusi iod dalam system kloroform air dapat ditentukan (Anonim, 2010).
Hukum distrbusi atau partisi dapat dirumuskan apabila dalam suatu zat terlarut terdistribusi diatntara dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka pada temperature konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distrribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Dalam kesetimbangan kimia, jika tekanan diperbesar sama volume diperkecil, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien yang lebih kecil, dan jika tekanan diperkecil sama volume diperbesar, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien gas yang lebih besar (Syabatini, 2009).
Apabila kedua pelarut yang berbeda kepolaran dalam kelarutan dicampurkan maka mereka tidak akan bisa bercampur. Diperlukannya suatu zat perantara untuk dapat membuat pelarut berbeda kepolaran tersebut bercampur. Dalam hal ini zat antara merupakan suatu zat yang dapat bercampur dalam keadaan polar apabila dilarutkan dalam suatu pelarut polar dan juga dapat bercampur apabila dilarutkan dalam pelarut nonpolar (Syabatini, 2009).
Suatu dasar agar solute dapat terekstrak dari fasa air ke fasa organic adalah suatu solute tersebut harus menjadi tidak bermuatan (Soebagio, 2002 ; 41).
Alat dan Bahan
Alat
Buret 50 mL 2 buah
Statif dan Klem 2 buah
Corong pisah 3 buah
Catang pengaduk 1 buah
Corong biasa 1 buah
Erlenmeyer bertutup asah 6 buah
Botol semprot 1 buah
Pipet volume 25 mL 1 buah
Pipet Volume 5 mL 1 buah
Ball Pipet 1 buah
Gelas ukur 25 mL 1 buah
Pipet tetes
Bahan
Larutan iod (I2)
Kloroform (CHCl3)
Indikator amilum
Aquadest (H2O)
Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
Cara Kerja
Penentuan Konsentrasi Iod sebenarnya
Memasukkan 5 mL larutan Iod ke dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menitrasi larutan iod dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan
Mengulangi cara kerja 1 sampai 3 sebanyak 3 kali
Menghitung volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan
Penentuan Konsentrasi Iod pada Pelarut Kloroform-Air
Mengisi 3 corong pisah masing-masing dengan 25 mL larutan iod
Menmbahkan 25 mL kloroform ke dalam setiap corong pisah
Mengocok larutan dengan kuat selama 15 menit kemudian membiarkannya sampai kedua pelarut terpisah
Mengeluarkan lapisan kloroform (lapisan bawah) dari corong pisah kemudian menampungnya dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menampung lapisan air (lapisan atas) dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Melakukan titrasi pada lapisan kloroform dengan larutan standar Na2S2O3 sampai warna coklat dalam lapisan tersebut hilang. Melakukan titrasi ini tanpa indicator amilum
Melakukan titrasi pada lapisan air dengan larutan standar Na2S2O3 dengan menggunakan indicator amilum
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan dalam titrasi pada lapisan air dan kloroform.
Hasil Pengamatan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Larutan iod (coklat) dititrasi larutan bening
Reflikasi Volume larutan Iod (mL) Volume larutan Na2S2O3 (mL)
1 5 12,0
2 5 12,3
3 5 12,2
Larutan standar Na2S2O3 = 0,1 N
Konsentrasi Iod dalam Masing-Masing Pelarut
Larutan iod 25 mL + larutan kloroform 25 mL dikocok 2 lapisan (atas coklat, bawah ungu)
Lapisan bawah (kloroform), (ungu) dititrasi larutan bening
Lapisan atas (air) + indicator amilum dititrasi larutan bening
Corong Pisah Lapisan Kloroform Lapisan air
Volume tio (mL) Volume tio (mL)
1 35,7 29,5
2 24,5 22,2
3 31,2 28,3
Analisis Data
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Corong 1
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 35, 7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 35,7 mL
25 mL
= 3, 57 N
25
= 0,1428 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 29,7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 29,7 mL
25 mL
= 2,97 N = 0,1188 N
25
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 24,5 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 24,5 mL
25 mL
= 2,45 N
25
= 0,098 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 22,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 22,2 mL
25 mL
= 2,22 N
25
= 0,0888 N
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 31,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 31,2 mL
25 mL
= 3,12 N
25
= 0,1248 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 28,3 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 28,3 mL
25 mL
= 2,83 N
25
= 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Konsentrasi Iod dalam Kloroform = C1
Konsentrasi Iod dalam air = C2
Corong 1
Dik : C1 = 0,1428 N
C2 = 0,1188 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1428 N
0,1188 N
= 1,202
Corong 2
Dik : C1 = 0,098 N
C2 = 0,0888 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,098 N
0,0888 N
= 1,104
Corong 3
Dik : C1 = 0,1248 N
C2 = 0,1132 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1248 N
0,1132 N
= 1,102
Pembahasan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dalam percobaan ini, larutan iod dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,1 N. Larutan iod perlu distandarisasi agar dapat diketahui konsentrasinya sebagai perbandingan dengan konsentrasinya dalam air maupun kloroform.
Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari coklat (warna iod) menjadi bening. Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali agar diperoleh data yang lebih akurat. Pada tiga kali titrasi, volume larutan natrium tiosulfat yang digunakan berturut-turut adalah 12,0 mL, 12,3 mL, dan 12,2 mL dengan volume rata-rata 12,17 mL. Dari hasil tersebut diperoleh konsentrasi iod sebesar 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Dalam percobaan ini, larutan iod dimasukkan ke dalam tiga corong pisah setelah itu ditambahkan kloroform dan dikocok. Selanjutnya campuran didiamkan sampai larutan benar-benar terpisah menjadi dua lapisan dimana lapisan bawah adalah kloroform yang berwarna ungu sedang lapisan atas air yang berwarna coklat. Kedua lapisan tersebut kemudian dipisahkan dan ditampung dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Kedua lapisan tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N. lapisan kloroform dititrasi sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 35,7 mL, corong 2 sebesar 24,5 mL dan corong 3 sebesar 31,2 mL sehingga diperoleh konsentrasi iod dalam kloroform berturut-turut adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N.
Lapisan air kemudian dititrasi pula dengan larutan standar Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi bening. Dalam titrasi ini digunakan indicator amilum yang berfungsi untuk mengetahui apakah seluruh iod telah habis bereaksi atau belum. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 29,7 mL, corong 2 sebesar 22,2 mL dan corong 3 sebesar 28,3 mL. dari hasil ini diperoleh konsentrasi iod dalam lapisan air berturut-turut adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Dari konsentrasi yang diperoleh baik pada lapisan air maupun kloroform, dapat diperoleh tetapan distribusi iod (KD) dengan rumus
K_D= C_1/C_2 =([I_2]kloroform)/[I_2 ]air
Sehingga dari rumus di atas diperoleh KD pada corong 1 sebesar 1,202, corong 2 sebesar 1,104 dan corong 3 sebesar 1,102. Hasil ini menunjukkan bahwa KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan lapisan air.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
2I-èReduksi : I2 + 2e
S4O62- + 2eèOksidasi : 2S2O32-
2I- + S4O62-èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
2NaI + Na2S4O6è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa :
Konsentrasi iod yang sebenarnya adalah 0,2434 N
Konsentrasi Iod pada lapisan air adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N sedang pada lapisan klorom adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N
KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak pada lapisan kloroform.
Saran
Dalam melakukan pengocokan, diharapkan melakukannya dengan lebih baik lagi agar campuran dapat merata saat proses pengocokan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Koefisien Distribusi Iod. http://brown13zt.blogspot.com/ Koefisien- distribusi-iod.html. diakses pada 5 April 2010.
Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press.
Soebagio, dkk. 2002. Kimia Analitik II. Malang : JICA.
Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Bagian I. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.
Syabatini, Annisa. 2009. Tetapan Distribusi Iod. http://annisafushie. wordpress.com/2009/11/25/tetapan-distribusi-iod/ diakses pada 5 April 2010.
Tim Dosen Kimia Analitik. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Analitik II. Makassar : Laboratorium Kimia, FMIPA, UNM.
JAWABAN PERTANYAAN
KD = 1, artinya iod terdistribusi sama banyaknya ke dalam lapisan air dan lapisan kloroform
KD > 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan pada lapisan air
KD < 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan air dibandingkan pada lapisan kloroform
Reaksi :
2I-èReduksi : I2 + 2e
S4O62- + 2eèOksidasi : 2S2O32-
2I- + S4O62-èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
2NaI + Na2S4O6è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Konsentrasi iod
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N
Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
Tujuan Percobaan
Menentukan tetepan distribusi iod dalam pelarut air-kloroform dengan cara ekstraksi Batch.
Landasan Teori
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut) di antara 2 fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organic maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis makro maupun mikro (Soebagio, 2002: 34).
Dalam ekstraksi berlaku hukum distribusi, menyatakan bahwa jika ke dalam system dua cairan tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka senyawa ini akan terdistribusi ke dalam dua cairan tersebut (Tim Dosen Kimia Analitik, 2010; 5 ).
Nernst pertama kalinya member pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi ketika tahun i891 ia menunjukkan bahwa suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara dua cairan yang tidak dapat bercampur sedemikian rupa sehingga angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperature tertentu (Underwood, 1986; 461).
Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebutmaka akan terjadi pembagian kelarutan (Soebagio, 2002:34).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperature yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantungpada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Svehla, 1990; 140).
Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan berbagai rumus sebagai berikut : Kd= C2/c1 atau Kd= Co/Ca dengan Kd = Koefisien distrribusi, dan C1, C2, Co, dan Ca adalah konsentrasi solute pada pelarut 1,2 organik dan air (Soebagio, 2002: 34).
Sesuai dengan kesepakatan, konsentrasi solute dalam pelarut organic dituliskan di atas dan konsentrasi solute dalam pelarut di tuliskan di bawah. Dari rumus tersebut jika harga KD besar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organic begitu pula terjadi sebaliknya. Rumus tersebut di atas hanya berlaku bila ; (a) solute tidak terionisasi dalam salah satu pelarut, (b) solute tidak berasosiasi dalam salah satu pelarut, dan (c) zat terlarut tidak dapat bereaksi dengan salah satu pelarut atau adanya reaksi-reaksi lain (Soebagio, 2002: 34-35).
Hukum Fase Gibb’s menyatakan bahwa P + V = C = 2 dimana P = fase, C = komponen, V = derajat kebebasan. Pada ekstraksi pelarut, kita mempunyai P = 2, yaitu fase air dan organic, C = 1, yaitu zat terlarut di dalam pelarut dan fase air pada temperature dan tekanan tetap, sehingga V = 1. Jadi kita dapatkan ; 2 + 1 = 1 + 2, yaitu P + V = C + 2 (Khopkar, 2007; 85).
Menurut hukum distribusi Nernst, jika [X1] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 1 dan [X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan X1 dan X2 di dapat KD K_D= ([X_2])/([X_1]) dimana KD = koefisien partisi. Partisi atau koefisien distribusi ini tidak bergantung pada konsentrasi total zat terlarut pada kedua fase tersebut. Pada persamaan di atas, kita tidak menuliskan koefisien aktivitas zat pada fase organic maupun fase air (Khopkar, 2007; 85-86).
Iod mampu larut dalam air dan juga dalam kloroform. Akan tetapi, perbedaan kelarutannya dalam kedua pelarut tersebut cukup besar. Dengan mengekstraksi larutan iod dalam air ke dalam kloroform, menghitung konsentrasi awal dari iod dalam air dengan cara titrasi, maka dapat diperoleh konsentrasi iod dalam kedua pelarut tersebut, sehingga koefisien distribusi iod dalam system kloroform air dapat ditentukan (Anonim, 2010).
Hukum distrbusi atau partisi dapat dirumuskan apabila dalam suatu zat terlarut terdistribusi diatntara dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka pada temperature konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distrribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Dalam kesetimbangan kimia, jika tekanan diperbesar sama volume diperkecil, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien yang lebih kecil, dan jika tekanan diperkecil sama volume diperbesar, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien gas yang lebih besar (Syabatini, 2009).
Apabila kedua pelarut yang berbeda kepolaran dalam kelarutan dicampurkan maka mereka tidak akan bisa bercampur. Diperlukannya suatu zat perantara untuk dapat membuat pelarut berbeda kepolaran tersebut bercampur. Dalam hal ini zat antara merupakan suatu zat yang dapat bercampur dalam keadaan polar apabila dilarutkan dalam suatu pelarut polar dan juga dapat bercampur apabila dilarutkan dalam pelarut nonpolar (Syabatini, 2009).
Suatu dasar agar solute dapat terekstrak dari fasa air ke fasa organic adalah suatu solute tersebut harus menjadi tidak bermuatan (Soebagio, 2002 ; 41).
Alat dan Bahan
Alat
Buret 50 mL 2 buah
Statif dan Klem 2 buah
Corong pisah 3 buah
Catang pengaduk 1 buah
Corong biasa 1 buah
Erlenmeyer bertutup asah 6 buah
Botol semprot 1 buah
Pipet volume 25 mL 1 buah
Pipet Volume 5 mL 1 buah
Ball Pipet 1 buah
Gelas ukur 25 mL 1 buah
Pipet tetes
Bahan
Larutan iod (I2)
Kloroform (CHCl3)
Indikator amilum
Aquadest (H2O)
Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
Cara Kerja
Penentuan Konsentrasi Iod sebenarnya
Memasukkan 5 mL larutan Iod ke dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menitrasi larutan iod dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan
Mengulangi cara kerja 1 sampai 3 sebanyak 3 kali
Menghitung volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan
Penentuan Konsentrasi Iod pada Pelarut Kloroform-Air
Mengisi 3 corong pisah masing-masing dengan 25 mL larutan iod
Menmbahkan 25 mL kloroform ke dalam setiap corong pisah
Mengocok larutan dengan kuat selama 15 menit kemudian membiarkannya sampai kedua pelarut terpisah
Mengeluarkan lapisan kloroform (lapisan bawah) dari corong pisah kemudian menampungnya dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menampung lapisan air (lapisan atas) dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Melakukan titrasi pada lapisan kloroform dengan larutan standar Na2S2O3 sampai warna coklat dalam lapisan tersebut hilang. Melakukan titrasi ini tanpa indicator amilum
Melakukan titrasi pada lapisan air dengan larutan standar Na2S2O3 dengan menggunakan indicator amilum
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan dalam titrasi pada lapisan air dan kloroform.
Hasil Pengamatan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Larutan iod (coklat) dititrasi larutan bening
Reflikasi Volume larutan Iod (mL) Volume larutan Na2S2O3 (mL)
1 5 12,0
2 5 12,3
3 5 12,2
Larutan standar Na2S2O3 = 0,1 N
Konsentrasi Iod dalam Masing-Masing Pelarut
Larutan iod 25 mL + larutan kloroform 25 mL dikocok 2 lapisan (atas coklat, bawah ungu)
Lapisan bawah (kloroform), (ungu) dititrasi larutan bening
Lapisan atas (air) + indicator amilum dititrasi larutan bening
Corong Pisah Lapisan Kloroform Lapisan air
Volume tio (mL) Volume tio (mL)
1 35,7 29,5
2 24,5 22,2
3 31,2 28,3
Analisis Data
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Corong 1
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 35, 7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 35,7 mL
25 mL
= 3, 57 N
25
= 0,1428 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 29,7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 29,7 mL
25 mL
= 2,97 N = 0,1188 N
25
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 24,5 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 24,5 mL
25 mL
= 2,45 N
25
= 0,098 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 22,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 22,2 mL
25 mL
= 2,22 N
25
= 0,0888 N
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 31,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 31,2 mL
25 mL
= 3,12 N
25
= 0,1248 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 28,3 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 28,3 mL
25 mL
= 2,83 N
25
= 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Konsentrasi Iod dalam Kloroform = C1
Konsentrasi Iod dalam air = C2
Corong 1
Dik : C1 = 0,1428 N
C2 = 0,1188 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1428 N
0,1188 N
= 1,202
Corong 2
Dik : C1 = 0,098 N
C2 = 0,0888 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,098 N
0,0888 N
= 1,104
Corong 3
Dik : C1 = 0,1248 N
C2 = 0,1132 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1248 N
0,1132 N
= 1,102
Pembahasan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dalam percobaan ini, larutan iod dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,1 N. Larutan iod perlu distandarisasi agar dapat diketahui konsentrasinya sebagai perbandingan dengan konsentrasinya dalam air maupun kloroform.
Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari coklat (warna iod) menjadi bening. Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali agar diperoleh data yang lebih akurat. Pada tiga kali titrasi, volume larutan natrium tiosulfat yang digunakan berturut-turut adalah 12,0 mL, 12,3 mL, dan 12,2 mL dengan volume rata-rata 12,17 mL. Dari hasil tersebut diperoleh konsentrasi iod sebesar 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Dalam percobaan ini, larutan iod dimasukkan ke dalam tiga corong pisah setelah itu ditambahkan kloroform dan dikocok. Selanjutnya campuran didiamkan sampai larutan benar-benar terpisah menjadi dua lapisan dimana lapisan bawah adalah kloroform yang berwarna ungu sedang lapisan atas air yang berwarna coklat. Kedua lapisan tersebut kemudian dipisahkan dan ditampung dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Kedua lapisan tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N. lapisan kloroform dititrasi sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 35,7 mL, corong 2 sebesar 24,5 mL dan corong 3 sebesar 31,2 mL sehingga diperoleh konsentrasi iod dalam kloroform berturut-turut adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N.
Lapisan air kemudian dititrasi pula dengan larutan standar Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi bening. Dalam titrasi ini digunakan indicator amilum yang berfungsi untuk mengetahui apakah seluruh iod telah habis bereaksi atau belum. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 29,7 mL, corong 2 sebesar 22,2 mL dan corong 3 sebesar 28,3 mL. dari hasil ini diperoleh konsentrasi iod dalam lapisan air berturut-turut adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Dari konsentrasi yang diperoleh baik pada lapisan air maupun kloroform, dapat diperoleh tetapan distribusi iod (KD) dengan rumus
K_D= C_1/C_2 =([I_2]kloroform)/[I_2 ]air
Sehingga dari rumus di atas diperoleh KD pada corong 1 sebesar 1,202, corong 2 sebesar 1,104 dan corong 3 sebesar 1,102. Hasil ini menunjukkan bahwa KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan lapisan air.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
2I-èReduksi : I2 + 2e
S4O62- + 2eèOksidasi : 2S2O32-
2I- + S4O62-èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
2NaI + Na2S4O6è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa :
Konsentrasi iod yang sebenarnya adalah 0,2434 N
Konsentrasi Iod pada lapisan air adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N sedang pada lapisan klorom adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N
KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak pada lapisan kloroform.
Saran
Dalam melakukan pengocokan, diharapkan melakukannya dengan lebih baik lagi agar campuran dapat merata saat proses pengocokan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Koefisien Distribusi Iod. http://brown13zt.blogspot.com/ Koefisien- distribusi-iod.html. diakses pada 5 April 2010.
Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press.
Soebagio, dkk. 2002. Kimia Analitik II. Malang : JICA.
Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Bagian I. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.
Syabatini, Annisa. 2009. Tetapan Distribusi Iod. http://annisafushie. wordpress.com/2009/11/25/tetapan-distribusi-iod/ diakses pada 5 April 2010.
Tim Dosen Kimia Analitik. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Analitik II. Makassar : Laboratorium Kimia, FMIPA, UNM.
JAWABAN PERTANYAAN
KD = 1, artinya iod terdistribusi sama banyaknya ke dalam lapisan air dan lapisan kloroform
KD > 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan pada lapisan air
KD < 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan air dibandingkan pada lapisan kloroform
Reaksi :
2I-èReduksi : I2 + 2e
S4O62- + 2eèOksidasi : 2S2O32-
2I- + S4O62-èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
2NaI + Na2S4O6è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Konsentrasi iod
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N
I.
Tujuan
Percobaan :
·
Menerangkan
arti viskositas dan rheologi
·
Membedahkan
cairan newton dan cairan non newton
·
Mengunakan
alat-alat penentuan viskositas dan rheologi
·
Menentukan
viskositas dan rheologi cairan newton dan non newton
II.
Teori
Umum
:
Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair
untuk mengalir. Makin besar resistensi suatu zat cair untuk
mengalir semakin besar pula viskositasnya.
Rheologi adalah ilmu yang mempelajari sifat aliran zat cair
atau deformasi zat padat. Viskositas mula-mula diselidiki oleh Newton, yaitu
dengan mensimulasikan zat cair dalam bentuk tumpukan kartu seperti pada gambar
berikut :
Zat cair diasumsikan
terdiri dari lapisan-lapisan molekul yang sejajar satu sama lain.Lapisan
terbawah tetap diam, sedangkan lapisan di atasnya bergerak dengan
kecepatankonstan,sehingga setiap lapisan akan bergerak dengan kecepatan yang
berbanding langsung denganjaraknya terhadap lapisan terbawah yang tetap.
Perbedaan kecepatan dv antara dua lapisan yangdipisahkan dengan jarak dx adalah
dv/dx atau kecepatan geser (rate of share). Sedangkan gayasatuan luas yang
dibutuhkan untuk mengalirkanzat cair tersebut adalah F/A atau tekanan geser
(shearing stress)
Menurut Newton :
F/A = dv/dx
F/A = ηdv/dx
η =
F/Adv/dx
η = koefisien
viskositas, satuan Poise
Viskositas suatu zat dipengaruhi oleh suhu.
Viskositas gas meningkat dengan bertambah tingginya suhu, sedangkan viskositas
zat cair menurun denganmeningginya suhu. Hubungan antara viskositas dengan suhu
tampak pada persamaan Arrhenius :
A
: konstanta yang tergantung pada berat molekul dan volume molar zat cair
Ev : energi aktivasi
R : konstanta
gas
T : suhu
mutlak
Hampir seluruh sistem dispersi termasuk
sediaan-sediaan farmasi yang berbentuk emulsi,suspense, dan sediaan setengah
padat tidak mengikuti hukum Newton. Viskosita cairan semacamini bervariasi pada
setiap kecepatan geser, sehingga untuk mengetahui sifat alirannya dilakukan
pengukuran pada beberapa kecepatan geser. Untuk menentukan viskositasnya
diper-gunakan viscometer rotasi
Stormer.
Berdasarkan grafik sifat alirannya (rheogram),
cairan non Newton terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu.Kelompok
ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Aliran plastik
b) Aliran pseudoplastik
c) Aliran dilatan
2. Cairan yang sifat alirannya dipengaruhi oleh waktu.
Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Tiksotropik
b) Antitiksotropik
c) Rheopeksi
peralatan yang digunakan untuk mengukur viskosita dan rheologi suatu zat cair
disebut viskometer. Ada dua jenis viskometer, yaitu :
1.
Viskosimeter Satu
Titik
Viskosimeter ini bekerja pada titik kecepatan
geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Ekstrapolasi dari
titik tersebut ke titik nol akan menghasilkan garislurus. Alat ini hanya dapat
digunakan untuk menentukan viskositas cairan Newton.Yang termasuk dalam jenis
ini misalnya viskosimeter kapiler, bola jatuh, penetrometer, plastometer ,dll.
2.
Viskosimeter Banyak
Titik
Dengan viskosimeter ini dapat dilakukan pengukuran pada beberapa
harga kecepatangeser sehingga diperoleh rheogram yang sempurna. Viskosimeter
jenis ini dapat jugadigunakan baik untuk menentukan viskositas dan rheologi
cairan Newton maupun nonNewton. Yang termasuk ke dalam jenis viskosimeter ini
adalah viskosimeter rotasi tipeStormer, Brookfield, Rotovico, dll.
Cairan yang mengikuti hukum Newton, viskositasnya tetap pada suhu dan tekanan
tertentu dan tidak tergantung pada kecepatan geser. Oleh karena itu,
vis-kositanya cukup ditentukan pada satu kecepatan geser. Viskometer yang dapat
dipergunakan untuk keperluan itu adalah viskometer kapiler atau bola
jatuh. Apabila digambarkan antara kecepatan geser terhadap tekanan geser,
maka diperoleh grafik garis lurus melalui titik nol seperti gambar grafik
dibawahini. Contoh cairan Newton adalah minyak jarak, kloroform, gliserin,
minyak zaitun, dan air.
Viskometer bola jatuh merupakan
viskosimeter satu titik yang digunakan untuk
menentukan viskosita cairan newton. Viskosimeter ini bekerja pada satu titik
kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Pada
viskometer ini sampel dan bola diletakkan dalam
tabung gelas dan dibiarkan mencapai
temperatur keseimbangan dengan air yang berada dalam jaket di sekelilingnya
pada temperatur konstan. Tabung dan jaket air tersebut kemudian dibalik, yang
akan menyebabkan bola berada padapuncak tabung gelas dalam. Waktu bagi bola tersebut
untuk jatuh antara dua tanda diukur dengan teliti dan diulangi beberapa
kali.
Prinsip kerja dari viskometer bola jatuh
adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu
tetap. Viskometer Hoeppler, seperti terlihat pada Gambar, merupakan alat yang
ada dalam perdagangan berdasarkan pada prinsip ini. Pada viskosimeter
Hoeppler tabungnya dipasang miring sehingga kecepatan bola jatuh akan berkurang
sehingga pengukuran dapat dilakukan lebih teliti. Viskometer ini cocok digunakan
untuk cairan yang mempunyai viskositas yang sukar diukur dengan viskosimeter
kapiler.
Selanjutnya, viskositas cairan dapat dihitung dengan persamaan
stokes yaitu :
η = 2r2(ρ1-ρ2)g/9v
Keterangan : r = jari-jari bola (cm)
ρ 1= bobot jenis bola
ρ 2= bobot jenis cairan
g = gaya gravitasi
v = kecepatan bola (cm.detik -1)
Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :
η= B(ρ1-ρ2)t
Keterangan : B = konstanta bola
T = waktu tempuh boal jatuh(detik)
III.
Alat dan
Bahan :
Alat
1.
Viskometer
ostwald
2.
Piknometer
3.
Timbangan
analitik
4.
Gelas
ukur
|
Bahan
1.
Propilen
glikol
2.
Aquadest
3.
gliserin
|
IV.
Prosedur
Kerja :
Penetuan Kekentalan Cairan Dengan Viskometer Ostwald
1.
Viskometer dibersikan
dan dikeringkan
2.
Cairan yang akan
ditentukan kekentalanya di masukan melalui pipa a sampai ruang r penuh terisi
3.
Cairan dihisap melalui
pipa b sampai naik melewati garis m
4.
Cairan dibiarkan turun
sampai garis n
5.
Catat waktu yang
dibutukan cairan untuk mengalir dari garis m ke n
6.
Lakukan 3 kali
pengulangan data
Penentuan Kekentalan Cairan Dengan Viskometer Bola Jatuh
Prosedur kerja :
1.
Pasang Alat Dan
Perangkat Pada Posisi Yang Tara
2.
Tabung Gelas Disi
Dengan Cairan Yang Akan Ditentukan Kekentalanna ,Kemudian Tutup Tabung Dengan
Hati-Hati Dan Jangan Sampai Terdapat Gelembung Udara Di Dalamnya
3.
Masukan Bola Yang
Sesuai Dan Apabila Bola Suda Turun Melampaui Garis Awal,Kembalikan Bola Pada
Posisi Semula Dengan Car Membalikan Tabung
4.
Catat Waktu Tempuh
Bola Melalui Tabung Mulai Garis Awal Sampai Garis Akhir Dalam Detik
5.
Tentukan Bobot Jenis /
Kerapatan Dengan Piknometer
6.
Hitung Kekentalan
Cairan Dengan Persamaan :
ɳ = t (sb – sr)B
Keterangan :
ɳ = kekentalan
t = waktu bola jatuh (dtk)
sb = kerapatan bola yang digunakan
sr = kerapatan cairan sampel
B =
konstanta bola
V.
Hasil Percobaan dan
Perhitungan :
Pengolahan
data
A. Penentuan Kerapatan Cairan
- Air
Bobot Pikno Kosong (W1)
: 15,4420 g
Bobot Pikno +
Air (W2)
: 40,6014 g
Bobot Pikno + Sample-Air (W3)
: 40,6014 g
Bobot Air : 25,1594 g
Kerapatan Air (ρ) :
W3-W1 = 40,6014 - 15,4420 = 25.1594 = 1 g/mol
W2-W1 40,6014 - 15,4420 25.1594
Bobot Air : 25,1594 g
Kerapatan Air (ρ) :
W3-W1 = 40,6014 - 15,4420 = 25.1594 = 1 g/mol
W2-W1 40,6014 - 15,4420 25.1594
- Gliserin
Bobot Pikno Kosong (W1)
: 14,2575 g
Bobot Pikno +
Air (W2)
: 39,3293 g
Bobot Pikno + Gliserin (W3)
: 45,7398 g
Bobot
Gliserin
: 31,4823 g
Kerapatan Gliserin
(ρ)
:
W3-W1 = 45,7398 - 14,2575 =
31,4823 = 1,2557 g/mol
W2-W1 39,3293 - 14,2575 25,0718
W2-W1 39,3293 - 14,2575 25,0718
- Propilen Glikol
Bobot Pikno Kosong (W1)
: 15,3077 g
Bobot Pikno +
Air (W2)
: 40,4184 g
Bobot Pikno + Propilenglikol (W3)
: 41,4128 g
Bobot Propilenglikol
: 31,4823 g
Kerapatan Propilen Glikol
(ρ) :
W3-W1 = 41,4128 - 15,3077 =
31,4823 = 1,2537 g/mol
W2-W1 40,4184 - 15,3077 25,1107
W2-W1 40,4184 - 15,3077 25,1107
- Alkohol
Bobot Pikno Kosong (W1)
: 15,4420 g
Bobot Pikno +
Air (W2)
: 40,6014 g
Bobot Pikno + Alkohol (W3)
: 35,6724 g
Bobot
Alkohol
:
Kerapatan Alkohol
(ρ) :
W3-W1 = 35,6724 - 15,4420 =
20,2304 = 0,8041 g/mol
W2-W1 40,6014 - 15,4420 25.1594
W2-W1 40,6014 - 15,4420 25.1594
B. Penentuan Nilai Viskositas
Bahan
|
Waktu
|
|||
Percobaan
1
|
Percobaan
2
|
Percobaan
3
|
Rata-Rata
|
|
Air
|
2,4
Menit
|
2,4
Menit
|
2,4
Menit
|
2,4
Menit
|
Alkohol
|
4,14
Menit
|
4,31
Menit
|
4,16
Menit
|
4,20
Menit
|
Gliserin
|
26,32
detik
|
26,72
detik
|
26,78
detik
|
26,61
detik
|
Propilen
Glikol
|
1,9
detik
|
1,82
detik
|
1,88
detik
|
1,87
detik
|
Viskometer
Ostwald
η1 = t1 ρ1
η2 = t2 ρ2
Diketahui :
η Air : 0,89 cp (Handbook
of Pharmaceutical Excipient, 6th edition)
v Viskositas
Alkohol
η1 = t1 ρ1 , 0,89 cp = 2,4 x 1
η2 = t2 ρ2 η2 = 4,20 x 0,8041
η2 = 4,20 x 0,8041x 0,89 cp
2,4 x 1
η2 = 1,25 cp
Viskometer Bola Jatuh
Order No.-
|
Ball No.
|
Made of
|
Density
(ρ) g/cm3 |
Diameter of the ball
mm |
Constant K (approx.)
mPa s cm3/ g s |
Recomm, Measuring
range
mPa s
|
800-0002
|
1
|
Boron silica glass
|
2,2
|
15,81 + 0,01
|
0,007
|
0,6 - 10
|
800-0003
|
2
|
Boron silica glass
|
2,2
|
15,6 + 0,05
|
0,09
|
7 - 130
|
800-0004
|
3
|
Nickel iron alloy
|
8,1
|
15,6 + 0,05
|
0,09
|
30 - 700
|
800-0005
|
4
|
Nickel iron alloy
|
8,1
|
15,2 + 0,1
|
0,7
|
200 - 4800
|
800-0006
|
5
|
W.-No. 4034
|
7,7-8,1
|
14,0 + 0,5
|
4,5
|
800 -10000
|
800-0007
|
6
|
W.-No. 4034
|
7,7-8,1
|
11,0 + 1
|
33
|
6000-75000
|
Tabel
1 . Tabel Data Pemilihan Bola pada Viskometer Bola Jatuh
Rumus
Perhitungan Viskositas :
η
=
t (Sb-Sr) B
v Viskositas
Gliserin
η =
t (Sb-Sr) B
η
=
26,61 (7,7 - 1,2557) 4,5
η
=
771,67 cp
v Viskositas
Propilen Glikol
η
=
t (Sb-Sr) B
η
=
1,87 (7,7 - 1,2537) 4,5
η
=
54,83 cp
Data
literatur (Sumber : Handbook of Excipient)
Viskositas
air : 0,89 cp
Rho
gliseirn : 1, 2626 g/cm3
Rho
propilenglikol : 1,038 g/cm3
Visko
p : 58,1 cp
VI.
Pembahasan
:
Pada percobaan kali ini, kita akan menentukan viskositas suatu cairan
menggunakan viskometer. Cairan yang kita tentukan nilai viskositasnya adalah
alkohol, gliserin, dan propilen glikol. Sebagaimana yang kita ketahui alkohol,
gliserin, dan propilrn glikol memiliki hukum aliran yang mengikuti hukum
Newton. Untuk menentukan viskositas suatu cairan yang mengikuti hukum newton,
kita dapat menggunakan alat viskometer yang disebut dengan viskometer Ostwald
dan viskometer Bola Jatuh.
Untuk menentukan viskositas alkohol dapat digunakan viskometer Ostwald.
Sedangkan untuk menentukan viskositas gliserin dan propilen glikol menggunakan
viskometer Bola Jatuh. Hal ini dikarenakan gliserin dan propilen glikol lebih
kental daripada alkohol, sehingga jika digunakan viskometer Ostwald akan
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat mengalir.
Prinsip kerja viskometer Ostwald ini adalah
suatu cairan dihitung waktu tempuhnya dari garis m ke garis n. Setelah itu
dihitung viskositasnya dengan membandingkan dengan air yang telah diketahui
viskositasnya yaitu 1. Sedangkan prinsip kerja dari viskometer bola jatuh
adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu
tetap. Pada viskosimeter Bola Jatuh tabungnya dipasang miring sehingga
kecepatan bola jatuh akan berkurang sehingga pengukuran dapat dilakukan lebih
teliti. Viskometer ini cocok digunakan untuk cairan yang mempunyai viskositas
yang sukar diukur dengan viskosimeter Ostwald.
Untuk menghitung nilai viskositas masing-masing
cairan, harus dicari terlebih dahulu kerapatannya. Dari data hasil percobaan
didapat bahwa kerapatan masing-,asing cairan sebagai berikut :
1.
Alkohol
= 0,8041
g/mol,
2.
Gliserin
= 1,2557
g/mol
3.
Propilen glikol
= 1,2537 g/mol.
Terdapat sedikit perbedaan nilai
kerapatan masing-masing cairan hasil percobaan dibandingkan dengan yang ada
pada literatur. Hal ini juga dapat berpengaruh pada nilai viskositas hasil
perhitungan. Perbedaan ini mungkin disebabkan kurang telitinya praktikan pada
saat penimbangan pikometer.
Dari data hasil percobaan diperoleh nilai
viskositas masing-masing cairan adalah:
1.
Alkohol
à 1,25
cp
2.
Gliserin
à 771,67 cp
3.
Propilen glikol
à 54,83
cp
Dari data tersebut menunjukkan bahwa cairan
yang memiliki nilai viskositas paling besar adalah gliserin dan cairan yang
memiliki nilai viskositas paling kecil adalah alkohol.
VII.
Kesimpulan
:
Dari data pengamatan dan pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa :
1. Alkohol, gliserin, dan propilen glikol merupakan
cairan yang megikuti hukum newton.
2. Untuk menentukan viskositas cairan yang mengikuti
hukum Newton digunakan viskometer satu titik, misalnya viskometer Ostwald,
viskometer bola jatuh, dan lain sebagainya.
3. Untuk menentukan nilai viskositas alkohol dapat
digunakan Viskometer Ostwald.
4. Untuk menentukan nilai viskositas gliserin dan
propilen glikol dapat digunakan Viskometer Bola Jatuh.
5. Prinsip kerja viskometer ostwald ini adalah suatu
cairan dihitung waktu tempuhnya dari garis m ke garis n.
6. Prinsip kerja dari viskometer bola jatuh
adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu tetap.
7. Diperoleh nilai viskositas hasil percobaan
masing-masing cairan sebagai berikut :
Alkohol
à 1,25
cp
Gliserin
à 771,67 cp
Propilen glikol
à 54,83 cp
VIII.
Daftar Pustaka
Anonim a. 1979.
Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen kesehatan RI
Anonim b. 1995.
Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Handbook Of
Pharmaceutical Exipent
Martin, Alferd.,
Swarbick, James & cammarata, Arthur.1993.Farmasi Fisik Dasar-Dasar dalam
Ilmu Farmasetik.UI Press:Jakarta
LAPORAN PRAKTIKUM
KESETIMBANGAN DAN
DINAMIKA KIMIA
VOLUM MOLAL PARSIAL
Nama
Praktikan
: Rega Wahyu
Anggraini
LABORATORIUM KIMIA FISIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2011
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dikehidupan
sehari-hari kita mengenal dua materi yaitu materi murni dan materi campuran.
Jarang sekali kita temukan materi murni di alam dan di lingkungan sekitar kita.
Kebanyakan dari materi-materi tersebut tersusun atas campuran-campuran dari
suatu zat. Campuran ada yang homogen dan ada pula yang heterogen. Kesetimbangan
kimia, juga mengenal adanya campuran biner, yaitu suatu campuran yang terdiri
dari dua macam zat.
Kita pernah mengenal
tekanan parsial gas dalam campuran gas, yaitu kontribusi satu komponen dalam
campuran gas terhadap tekanan totalnya. Sekarang dalam campuran cair-cair atau
larutan-larutan tentunya juga ada sifat-sifat parsial lain sifat-sifat ini yang
membantu kita dalam menjelaskan bagaimana komposisi dari suatu campuran dan
bisa pula digunakan untuk menganalisis sifat-sifatnya. Sifat parsial lain yang
paling mudah digambarkan adalah volume molar gas. Mempelajari volume molar gas
secara lebih lanjut, nantinya kita akan mampu menentukan seberapa banyak zat A
atau zat B yang ada dalam suatu campuran. Oleh karena itu untuk mengetahuinya
maka dilakukan percobaan “Volum Molal Parsial” ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana cara menentukan volum molal parsial komponen larutan ?
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1
MSDS
2.1.1
Natrium Klorida
Sifat fisik NaCl
(Natrium Chlorida):
§ Berbentuk kristal
§ Tidak berwarna
§ Higroskopis
§ Sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam
air dan gliserol (Sarjoni, 2003:20 ).
§ Memiliki berat molekul 58,44
§ Berbentuk padatan putih dengan struktur
bongkahan Kristal
§ Titik lelehnya 800,6oC
§ Titik didihnya 1,413oC
(Ensiklopedi nasional
Indonesia, 1990:47).
2.1.2
Aquades
Aquades disebut juga Aqua Purificata (air murni) H2O dengan. Air murni adalah air yang dimurnikan dari destilasi.
Satu molekul air memiliki dua hidrogen atom kovalen terikat untuk satu oksigen.
Sifat fisik dan kimia
:
§ Penampilan: cairan jernih, tidak berwarna,
tidak berbau.
§ Berat molekul : 18,0
§ PH
: antara 5-7
§ Rumus kimia : H2O
§ Berbentuk cair
§ Tidak berwarna
§ Tidak berbau
§ Tidak mempunyai rasa
§ Titik didih 1000C
§ Titik beku 00C
§ Bentuk alltropnya adalah es (padat) dan uap
(gas)
§ Elektrolit lemah
§ Terionisasi menjadi H3O+ dan OH-.
Air dihasilkan dari
pengoksidasian hidrogen dan banyak digunakan sebagai bahan pelarut bagi
kebanyakan senyawa dan sumber listrik (Sarjoni,2003:241).
2.2 Volum
molal parsial
Molal atau molalita
didefinisikan sebagai jumlah mol solute per kg solven. Berarti merupakan
perbandingan antara jumlah mol solute denganmassasolven dalam kilogram.
Molal =
Jadi, jika ada larutan
1,00 molal maka mengandung 1,00 mol solute tiap 1,00 kg solven
(Brady,1990:592).
Volum molar parsial
adalah kontribusi pada volum, dai satu komponen dalam sample terhadap volum
total. Volum molar parsial komponen suatu campurn berubah-ubah tergantung pada
komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah jika komposisinya
berubah dari a murni ke b murni. Perubahan lingkungan molekuler dan perubahan
gay-gaya yang bekerja antara molekul inilah yang menghsilkan variasi sifat
termodinamika campuran jika komposisinya berubah (Atkins, 1993:170)
Termodinamika terdapat
2 macam larutan, yaitu larutan ideal dan larutan tidak ideal. Suatu larutan
dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Raoult pada seluruh
kisaran komposisi dari system tersebut. Untuk larutan tidak ideal, dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Besaran molal parsial, misalnya volume molal
parsial dan entalpi
2. Aktivitas dan koefisien aktifitas.
Secara matematik sifat
molal parsial didefinisikan sebagai:
Dimana, adalah
sifat molal parsial dari komponen ke-i. Secara fisik berarti
kenaikan dalam besaran termodinamik J yang diamati bila satu mol senyawa I
ditambahkan ke suatu sistem yang besar sehingga komposisinya tetap konstan
(Dogra,1990:580).
Ada3 sifat
termodinamik molal parsial utama, yakni: (i) volume molal parsial dari
komponen-komponen dalam larutan, (ii) entalpi molal parsial dan (iii) energi
bebas molal parsial. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal
parsial dari suatu komponen dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa
murni adalah sama jika larutan tersebut ideal (Dogra,1990:580).
Volume molal parsial
sendiri, komponen pada sistem larutan dapat didefinisikan sebagai:
(1)
Dimana:
V = Volume
n = Jumlah mol
T = Temperatur
P = Tekanan
Volume larutan adalah
fungsi temperatur, tekanan dan jumlah mol komponen yang dituliskan:
V = V (T,P,n, . . .
.)
(2)
Sehingga:
dV =
(3)
Pada temperatur dan
tekanan tetap, dengan menggunakan persamaan (1) dan (3) menjadi:
dV = + +
….
(4)
Volume molal parsial
adalah tetap pada kondisi komposisi temperatur dan tekanan tetap. Dari
persamaan (4) pada kondisi tersebut memberikan persamaan:
V = (5)
Oleh karena …. =
0, maka volume V adalah nol, sehingga tetapan 0, maka persamaan 5 menjadi
:
V =
(6)
Deferensiasi dari
persamaan (6) menghasilkan :
dV = + +
+ ….)
Jika digabung dengan
persamaan (4) memberikan hasil (pada temperatur dan tekanan tetap) :
+ + …. = 0
(7)
Persamaan di atas
adalah persamaan Gibbs-Duhem untuk volume.
Untuk sistem larutan
biner, volume molal semu untuk zat larut
didefinisikan sebagai :
Ǿ =
(8)
Dengan adalah
volume molal pelarut murni (Tim kimia fisika, 2011:8).
BAB 3 Metodologi Percobaan
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat yang
digunakan adalah:
1. Neraca digital
2. Labu ukur
3. Pipet volum
4. Botol semprot
5. Beaker glass
6. Piknometer
7. Termometer
3.1.2. Bahan yang
digunakan adalah:
1. NaCl
2. Aquades
3. Air
Skema kerja
|
- Ditimbang.
- Dilarutkan
dalam 50 ml air.
- Larutan
diencerkan dengan konsentrasi ½; ¼; 1/8; 1/16.
- Dipipet 25 ml
dan dilarutkan dalam labu ukur 50 ml untuk setiap pengenceran.
- Ditambahkan
aquades sampai tanda batas.
- Dilakukan
penimbang terhadap piknometer kosong, piknometer berisi aquades penuh,
piknometer berisi NaCl penuh.
- Dicatat
konsentrasinya.
|
- Dicatat
temperaturnya.
BAB 4 Hasil dan
Pembahasan
4.1 Hasil
§ Massa piknometer kosong = 30,671 gram
§ Volume piknometer = 10 mL
Pengulangan
|
Temperatur piknometer + air
|
Massa piknometer + air
|
I
II
III
|
28°C
28,2°C
28,2°C
|
40,637 gram
40,643 gram
40,640 gram
|
Rata-rata
|
28,2°C
|
40,64 gram
|
Konsentrasi
|
Pengulangan
|
Massa piknometer + larutan NaCl
|
Temperatur piknometer + larutan NaCl
|
3 M
|
I
II
III
|
41,085 gram
41,086 gram
41,086 gram
|
28,8°C
29°C
29°C
|
Rata-rata
|
40,752 gram
|
28,9°C
|
|
1,5 M
|
I
II
III
|
40,772 gram
40,771 gram
40,772 gram
|
30°C
29,8°C
29,8°C
|
Rata-rata
|
40,772 gram
|
29,6°C
|
|
0,75 M
|
I
II
III
|
40,354 gram
40,356 gram
40,342 gram
|
29,6°C
29,6°C
29,6°C
|
Rata-rata
|
40,351 gram
|
29.6°C
|
|
0,375 M
|
I
II
III
|
40,419 gram
40,416 gram
40,415 gram
|
29,8°C
29,8°C
29,6°C
|
Rata-rata
|
40,417 gram
|
29,7°C
|
|
0,185 M
|
I
II
III
|
40,649 gram
40,849 gram
40,841 gram
|
30,08°C
30,04°C
30,02°C
|
Rata-rata
|
40,780 gram
|
30,05°C
|
Temperatur
|
d°
|
28,9°C
29,6°C
29,6°C
29,7°C
30,05°C
|
0,995973
0,995766
0,995766
0,995736
0,995646
|
4.2
Pembahasan
Percobaan ini menggunakan bahan NaCl dan akuades, NaCl berfungsi
sebagai zat terlarut dan akuades sebagai pelarut. NaCl digunakan karena
merupakan larutan elekrolit kuat yang akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- di
dalam air dan mampu menyerap air tanpa adanya penambahan volume suatu larutan,
sehingga disebut dengan volume molal parsial semu. Reaksi yang terjadi pada
langkah ini adalah : NaCl Na+ + Cl-.
4.2.1
Pengertian volum molar parsial
Volume molal parsial
merupakan volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut dengan zat
terlarut, yang ditentukan oleh banyaknya zat mol zat terlarut yang terdapat
dalam 1000 gram pelarut.
4.2.2
Hubungan konsentrasi dengan volum molar parsial
Perbedaan konsentrasi
larutan NaCl menghasilkan densitas yang berbeda-beda pula. Semakin tinggi
konsentrasi larutan, densitasnya juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena
semakin tinggi konsentrasi suatu larutan, menunjukkan jumlah partikel dalam
larutan tersebut semakin banyak. Dengan kata lain, konsentrasi suatu larutan
berbanding lurus dengan densitas larutan.
Volume molal parsial
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan tersebut. Semakin tinggi
konsentrasinya maka volume molal parsialnya semakin tinggi pula atau dengan
kata lain berbanding terbalik. Volume molal dari suatu komponen larutan dapat
diukur dengan membagi volume total dari larutan dengan jumlah mol komponen
larutannya.
Persamaan di atas
menunjukkan bahwa hubungan antara volume molal parsial dengan molaritas adalah
berbanding terbalik.
Konsentrasi suatu zat
sangat berpengaruh terhadap berat piknometer yang nantinya akan ditimbang.
Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin berat pula piknometer tersebut. Hal
ini dapat terjadi karena penyusun dari larutan NaCl yang konsentrasinya besar
lebih banyak mengandung zat NaCl daripada air sehingga beratnya menjadi lebih
besar, yang kita ketahui bersama bahwa NaCl adalah suatu padatan yang dibuat
menjadi larutan, Na Cl memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada air
(pelarutnya).
Pada penimbangan
piknometer, dilakukan dari larutan yang konsentrasinya kecil ke yang
konsentrasinya besar. Hal ini dilakukan agar nantinya berat yang ditimbang
untuk yang konsentrasinya kecil tidak dipengaruhi oleh yang konsentrasinya
besar. Konsentrasi yang besar dapat mempengaruhi konsentrasi yang kecil berubah
menjadi agak besar pula walaupun tidak sama. Tetapi yang konsentrasinya kecil
tidak mempengaruhi konsentrasi yang besar. Hal ini dilakukan karena piknometer
yang digunakan hanya 1 buah, jadi menghindari terjadinya kesalahan yang besar
pada percobaan.
4.2.3
Perbedaan temperatur untuk setiap konsentrasi.
Suhu dan konsentrasi
larutan berbanding lurus, jika konsentrasinya tinggi maka suhu larutan juga
tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal itu sering dijumpai ketika suatu larutan
pekat memiliki suhu yang lebih tinggi disbanding hasil pengencerannya. Namun
hasil percobaan, didapatkan suhu yang rendah saat konsentrasinya tinggi, yaitu
28,9°C pada konsentrasi 3 M, 29,6°C pada konsentrasi 1.5 M, 29.6°C pada
konsentrasi 0. 75 M, 29,7°C pada konsentrasi 0.375 M, 30,05°C pada konsentrasi
0.185 M. Hal itu disebabkan karena banyak factor, misalnya pengaruh udara
dalam piknometer saat di timbang, kesalahan praktikan saat melakukan percobaan,
serta karena alat yang fungsinya tidak optimal lagi.
4.2.4
Sifat termodinamika molal parsial
Ada tiga sifat
termodinamik molal parsial utama, yakni : (1) volume molal parsial dari
komponen-komponen dalam larutan, (2) entalpi molal parsial (juga disebut
sebagai panas diferensial larutan) dan (3) energi bebas molal parsial (disebut
potensial kimia).
BAB 5 Penutup
3.1
Kesimpulan
1. Volume molal parsial adalah volume dimana
terdapat perbandingan antara pelarut (solven) dengan zat terlarut (solute).
2. Konsentrasi berbanding lurus dengan volum
molal parsial.
3. Semakin besar konsentrasi, maka semakin tinggi
suhunya. Begitu pula sebaliknya.
3.2 Saran
1. Seharusnya praktikan menguasai materi
praktikum sebelum melakukan percobaan.
2. Ketelitian dan kecermatan sangat berpengaruh
terhadap hasil pengamatan.
3. Kebersihan alat menjadi faktor penting dalam
mendapatkan data yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan soal – soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soekardjo. 1989. Kimia Fisik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nasional, Ensiklopedia. 1988. A- Amy jilid 1. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Sardjoni.2003. Kamus Kimia. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tim Penyusun. 2011. Penuntun Praktikum Kesetimbangan dan
Dinamika Kimia. Jember :
Laboratorium Kimia Fisika FMIPA UNEJ.
Lampiran Perhitungan
1. 1. Perhitungan
Massa Jenis Larutan
A. 3 M
1. 1,5 M
1. 0,75 M
1. 0,375 M
1. 0,1875 M
1. 2. Perhitungan
Molalitas
2. 3 M
1. 1.5 M
1. 0.75 M
1. 0.375 M
1. 0.1875 M
1. 3. Perhitungan
volum molal semu
1. Konsentrasi 3 M
2. Konsentrasi 1,5 M
3. Konsentrasi 0.75 M
4. Konsentrasi 0.375M
5. Konsentrasi 0.1875 M
Grafik volume molal semu vs molalitas
1. 4. Menghitung
nilai volume molal parsial pelarut (V1)
a)
NaCl 3 M
b)
NaCl 1.5 M (1/2)
c)
NaCl 0.75 M (1/4)
d)
NaCl 0,375 M (1/8)
e)
NaCl 0.1875 M (1/16)
Grafik volume 1 vs molalitas
1. 5. Menghitung
nilai volume molal parsial pelarut (V2)
2. NaCl 3 M
1. NaCl 1.5 M
1. NaCl 0,75 M
1. NaCl 0,375 M
1. NaCl 0,1875 M
Grafik volume 2 vs molalitas
LAPORAN PRAKTIKUM
KESETIMBANGAN DAN
DINAMIKA KIMIA
VOLUM MOLAL PARSIAL
Nama
Praktikan
: Rega Wahyu
Anggraini
LABORATORIUM KIMIA FISIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2011
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dikehidupan
sehari-hari kita mengenal dua materi yaitu materi murni dan materi campuran.
Jarang sekali kita temukan materi murni di alam dan di lingkungan sekitar kita.
Kebanyakan dari materi-materi tersebut tersusun atas campuran-campuran dari
suatu zat. Campuran ada yang homogen dan ada pula yang heterogen. Kesetimbangan
kimia, juga mengenal adanya campuran biner, yaitu suatu campuran yang terdiri
dari dua macam zat.
Kita pernah mengenal
tekanan parsial gas dalam campuran gas, yaitu kontribusi satu komponen dalam
campuran gas terhadap tekanan totalnya. Sekarang dalam campuran cair-cair atau
larutan-larutan tentunya juga ada sifat-sifat parsial lain sifat-sifat ini yang
membantu kita dalam menjelaskan bagaimana komposisi dari suatu campuran dan
bisa pula digunakan untuk menganalisis sifat-sifatnya. Sifat parsial lain yang
paling mudah digambarkan adalah volume molar gas. Mempelajari volume molar gas
secara lebih lanjut, nantinya kita akan mampu menentukan seberapa banyak zat A
atau zat B yang ada dalam suatu campuran. Oleh karena itu untuk mengetahuinya
maka dilakukan percobaan “Volum Molal Parsial” ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana cara menentukan volum molal parsial komponen larutan ?
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1
MSDS
2.1.1
Natrium Klorida
Sifat fisik NaCl
(Natrium Chlorida):
§ Berbentuk kristal
§ Tidak berwarna
§ Higroskopis
§ Sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam
air dan gliserol (Sarjoni, 2003:20 ).
§ Memiliki berat molekul 58,44
§ Berbentuk padatan putih dengan struktur
bongkahan Kristal
§ Titik lelehnya 800,6oC
§ Titik didihnya 1,413oC
(Ensiklopedi nasional
Indonesia, 1990:47).
2.1.2
Aquades
Aquades disebut juga Aqua Purificata (air murni) H2O dengan. Air murni adalah air yang dimurnikan dari destilasi.
Satu molekul air memiliki dua hidrogen atom kovalen terikat untuk satu oksigen.
Sifat fisik dan kimia
:
§ Penampilan: cairan jernih, tidak berwarna,
tidak berbau.
§ Berat molekul : 18,0
§ PH
: antara 5-7
§ Rumus kimia : H2O
§ Berbentuk cair
§ Tidak berwarna
§ Tidak berbau
§ Tidak mempunyai rasa
§ Titik didih 1000C
§ Titik beku 00C
§ Bentuk alltropnya adalah es (padat) dan uap
(gas)
§ Elektrolit lemah
§ Terionisasi menjadi H3O+ dan OH-.
Air dihasilkan dari
pengoksidasian hidrogen dan banyak digunakan sebagai bahan pelarut bagi
kebanyakan senyawa dan sumber listrik (Sarjoni,2003:241).
2.2 Volum
molal parsial
Molal atau molalita
didefinisikan sebagai jumlah mol solute per kg solven. Berarti merupakan
perbandingan antara jumlah mol solute denganmassasolven dalam kilogram.
Molal =
Jadi, jika ada larutan
1,00 molal maka mengandung 1,00 mol solute tiap 1,00 kg solven
(Brady,1990:592).
Volum molar parsial
adalah kontribusi pada volum, dai satu komponen dalam sample terhadap volum
total. Volum molar parsial komponen suatu campurn berubah-ubah tergantung pada
komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah jika komposisinya
berubah dari a murni ke b murni. Perubahan lingkungan molekuler dan perubahan
gay-gaya yang bekerja antara molekul inilah yang menghsilkan variasi sifat
termodinamika campuran jika komposisinya berubah (Atkins, 1993:170)
Termodinamika terdapat
2 macam larutan, yaitu larutan ideal dan larutan tidak ideal. Suatu larutan
dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Raoult pada seluruh
kisaran komposisi dari system tersebut. Untuk larutan tidak ideal, dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Besaran molal parsial, misalnya volume molal
parsial dan entalpi
2. Aktivitas dan koefisien aktifitas.
Secara matematik sifat
molal parsial didefinisikan sebagai:
Dimana, adalah
sifat molal parsial dari komponen ke-i. Secara fisik berarti
kenaikan dalam besaran termodinamik J yang diamati bila satu mol senyawa I
ditambahkan ke suatu sistem yang besar sehingga komposisinya tetap konstan
(Dogra,1990:580).
Ada3 sifat
termodinamik molal parsial utama, yakni: (i) volume molal parsial dari
komponen-komponen dalam larutan, (ii) entalpi molal parsial dan (iii) energi
bebas molal parsial. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal
parsial dari suatu komponen dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa
murni adalah sama jika larutan tersebut ideal (Dogra,1990:580).
Volume molal parsial
sendiri, komponen pada sistem larutan dapat didefinisikan sebagai:
(1)
Dimana:
V = Volume
n = Jumlah mol
T = Temperatur
P = Tekanan
Volume larutan adalah
fungsi temperatur, tekanan dan jumlah mol komponen yang dituliskan:
V = V (T,P,n, . . .
.)
(2)
Sehingga:
dV =
(3)
Pada temperatur dan
tekanan tetap, dengan menggunakan persamaan (1) dan (3) menjadi:
dV = + +
….
(4)
Volume molal parsial
adalah tetap pada kondisi komposisi temperatur dan tekanan tetap. Dari
persamaan (4) pada kondisi tersebut memberikan persamaan:
V = (5)
Oleh karena …. =
0, maka volume V adalah nol, sehingga tetapan 0, maka persamaan 5 menjadi
:
V =
(6)
Deferensiasi dari
persamaan (6) menghasilkan :
dV = + +
+ ….)
Jika digabung dengan
persamaan (4) memberikan hasil (pada temperatur dan tekanan tetap) :
+ + …. = 0
(7)
Persamaan di atas
adalah persamaan Gibbs-Duhem untuk volume.
Untuk sistem larutan
biner, volume molal semu untuk zat larut
didefinisikan sebagai :
Ǿ =
(8)
Dengan adalah
volume molal pelarut murni (Tim kimia fisika, 2011:8).
BAB 3 Metodologi Percobaan
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat yang
digunakan adalah:
1. Neraca digital
2. Labu ukur
3. Pipet volum
4. Botol semprot
5. Beaker glass
6. Piknometer
7. Termometer
3.1.2. Bahan yang
digunakan adalah:
1. NaCl
2. Aquades
3. Air
Skema kerja
|
- Ditimbang.
- Dilarutkan
dalam 50 ml air.
- Larutan
diencerkan dengan konsentrasi ½; ¼; 1/8; 1/16.
- Dipipet 25 ml
dan dilarutkan dalam labu ukur 50 ml untuk setiap pengenceran.
- Ditambahkan
aquades sampai tanda batas.
- Dilakukan
penimbang terhadap piknometer kosong, piknometer berisi aquades penuh,
piknometer berisi NaCl penuh.
- Dicatat
konsentrasinya.
|
- Dicatat
temperaturnya.
BAB 4 Hasil dan
Pembahasan
4.1 Hasil
§ Massa piknometer kosong = 30,671 gram
§ Volume piknometer = 10 mL
Pengulangan
|
Temperatur piknometer + air
|
Massa piknometer + air
|
I
II
III
|
28°C
28,2°C
28,2°C
|
40,637 gram
40,643 gram
40,640 gram
|
Rata-rata
|
28,2°C
|
40,64 gram
|
Konsentrasi
|
Pengulangan
|
Massa piknometer + larutan NaCl
|
Temperatur piknometer + larutan NaCl
|
3 M
|
I
II
III
|
41,085 gram
41,086 gram
41,086 gram
|
28,8°C
29°C
29°C
|
Rata-rata
|
40,752 gram
|
28,9°C
|
|
1,5 M
|
I
II
III
|
40,772 gram
40,771 gram
40,772 gram
|
30°C
29,8°C
29,8°C
|
Rata-rata
|
40,772 gram
|
29,6°C
|
|
0,75 M
|
I
II
III
|
40,354 gram
40,356 gram
40,342 gram
|
29,6°C
29,6°C
29,6°C
|
Rata-rata
|
40,351 gram
|
29.6°C
|
|
0,375 M
|
I
II
III
|
40,419 gram
40,416 gram
40,415 gram
|
29,8°C
29,8°C
29,6°C
|
Rata-rata
|
40,417 gram
|
29,7°C
|
|
0,185 M
|
I
II
III
|
40,649 gram
40,849 gram
40,841 gram
|
30,08°C
30,04°C
30,02°C
|
Rata-rata
|
40,780 gram
|
30,05°C
|
Temperatur
|
d°
|
28,9°C
29,6°C
29,6°C
29,7°C
30,05°C
|
0,995973
0,995766
0,995766
0,995736
0,995646
|
4.2
Pembahasan
Percobaan ini menggunakan bahan NaCl dan akuades, NaCl berfungsi
sebagai zat terlarut dan akuades sebagai pelarut. NaCl digunakan karena
merupakan larutan elekrolit kuat yang akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- di
dalam air dan mampu menyerap air tanpa adanya penambahan volume suatu larutan,
sehingga disebut dengan volume molal parsial semu. Reaksi yang terjadi pada
langkah ini adalah : NaCl Na+ + Cl-.
4.2.1
Pengertian volum molar parsial
Volume molal parsial
merupakan volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut dengan zat
terlarut, yang ditentukan oleh banyaknya zat mol zat terlarut yang terdapat
dalam 1000 gram pelarut.
4.2.2
Hubungan konsentrasi dengan volum molar parsial
Perbedaan konsentrasi
larutan NaCl menghasilkan densitas yang berbeda-beda pula. Semakin tinggi
konsentrasi larutan, densitasnya juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena
semakin tinggi konsentrasi suatu larutan, menunjukkan jumlah partikel dalam
larutan tersebut semakin banyak. Dengan kata lain, konsentrasi suatu larutan
berbanding lurus dengan densitas larutan.
Volume molal parsial
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan tersebut. Semakin tinggi
konsentrasinya maka volume molal parsialnya semakin tinggi pula atau dengan
kata lain berbanding terbalik. Volume molal dari suatu komponen larutan dapat
diukur dengan membagi volume total dari larutan dengan jumlah mol komponen
larutannya.
Persamaan di atas
menunjukkan bahwa hubungan antara volume molal parsial dengan molaritas adalah
berbanding terbalik.
Konsentrasi suatu zat
sangat berpengaruh terhadap berat piknometer yang nantinya akan ditimbang.
Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin berat pula piknometer tersebut. Hal
ini dapat terjadi karena penyusun dari larutan NaCl yang konsentrasinya besar
lebih banyak mengandung zat NaCl daripada air sehingga beratnya menjadi lebih
besar, yang kita ketahui bersama bahwa NaCl adalah suatu padatan yang dibuat
menjadi larutan, Na Cl memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada air
(pelarutnya).
Pada penimbangan
piknometer, dilakukan dari larutan yang konsentrasinya kecil ke yang
konsentrasinya besar. Hal ini dilakukan agar nantinya berat yang ditimbang
untuk yang konsentrasinya kecil tidak dipengaruhi oleh yang konsentrasinya
besar. Konsentrasi yang besar dapat mempengaruhi konsentrasi yang kecil berubah
menjadi agak besar pula walaupun tidak sama. Tetapi yang konsentrasinya kecil
tidak mempengaruhi konsentrasi yang besar. Hal ini dilakukan karena piknometer
yang digunakan hanya 1 buah, jadi menghindari terjadinya kesalahan yang besar
pada percobaan.
4.2.3
Perbedaan temperatur untuk setiap konsentrasi.
Suhu dan konsentrasi
larutan berbanding lurus, jika konsentrasinya tinggi maka suhu larutan juga
tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal itu sering dijumpai ketika suatu larutan
pekat memiliki suhu yang lebih tinggi disbanding hasil pengencerannya. Namun
hasil percobaan, didapatkan suhu yang rendah saat konsentrasinya tinggi, yaitu
28,9°C pada konsentrasi 3 M, 29,6°C pada konsentrasi 1.5 M, 29.6°C pada
konsentrasi 0. 75 M, 29,7°C pada konsentrasi 0.375 M, 30,05°C pada konsentrasi
0.185 M. Hal itu disebabkan karena banyak factor, misalnya pengaruh udara
dalam piknometer saat di timbang, kesalahan praktikan saat melakukan percobaan,
serta karena alat yang fungsinya tidak optimal lagi.
4.2.4
Sifat termodinamika molal parsial
Ada tiga sifat
termodinamik molal parsial utama, yakni : (1) volume molal parsial dari
komponen-komponen dalam larutan, (2) entalpi molal parsial (juga disebut
sebagai panas diferensial larutan) dan (3) energi bebas molal parsial (disebut
potensial kimia).
BAB 5 Penutup
3.1
Kesimpulan
1. Volume molal parsial adalah volume dimana
terdapat perbandingan antara pelarut (solven) dengan zat terlarut (solute).
2. Konsentrasi berbanding lurus dengan volum
molal parsial.
3. Semakin besar konsentrasi, maka semakin tinggi
suhunya. Begitu pula sebaliknya.
3.2 Saran
1. Seharusnya praktikan menguasai materi
praktikum sebelum melakukan percobaan.
2. Ketelitian dan kecermatan sangat berpengaruh
terhadap hasil pengamatan.
3. Kebersihan alat menjadi faktor penting dalam
mendapatkan data yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan soal – soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soekardjo. 1989. Kimia Fisik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nasional, Ensiklopedia. 1988. A- Amy jilid 1. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Sardjoni.2003. Kamus Kimia. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tim Penyusun. 2011. Penuntun Praktikum Kesetimbangan dan
Dinamika Kimia. Jember :
Laboratorium Kimia Fisika FMIPA UNEJ.
Lampiran Perhitungan
1. 1. Perhitungan
Massa Jenis Larutan
A. 3 M
1. 1,5 M
1. 0,75 M
1. 0,375 M
1. 0,1875 M
1. 2. Perhitungan
Molalitas
2. 3 M
1. 1.5 M
1. 0.75 M
1. 0.375 M
1. 0.1875 M
1. 3. Perhitungan
volum molal semu
1. Konsentrasi 3 M
2. Konsentrasi 1,5 M
3. Konsentrasi 0.75 M
4. Konsentrasi 0.375M
5. Konsentrasi 0.1875 M
Grafik volume molal semu vs molalitas
1. 4. Menghitung
nilai volume molal parsial pelarut (V1)
a)
NaCl 3 M
b)
NaCl 1.5 M (1/2)
c)
NaCl 0.75 M (1/4)
d)
NaCl 0,375 M (1/8)
e)
NaCl 0.1875 M (1/16)
Grafik volume 1 vs molalitas
1. 5. Menghitung
nilai volume molal parsial pelarut (V2)
2. NaCl 3 M
1. NaCl 1.5 M
1. NaCl 0,75 M
1. NaCl 0,375 M
1. NaCl 0,1875 M
Grafik volume 2 vs molalitas