Anak Electron
//

MY LAPORAN

Kamis, 07 Juni 2012

PRAKTIKUM KIMIA FISIK 2012


Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
Judul Percobaan
Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
Tujuan Percobaan
Menentukan tetepan distribusi iod dalam pelarut air-kloroform dengan cara ekstraksi Batch.
Landasan Teori
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut) di antara 2 fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organic maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis makro maupun mikro (Soebagio, 2002: 34).
Dalam ekstraksi berlaku hukum distribusi, menyatakan bahwa jika ke dalam system dua cairan tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka senyawa ini akan terdistribusi ke dalam dua cairan tersebut (Tim Dosen Kimia Analitik, 2010; 5 ).
Nernst pertama kalinya member pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi ketika tahun i891 ia menunjukkan bahwa suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara dua cairan yang tidak dapat bercampur sedemikian rupa sehingga angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperature tertentu (Underwood, 1986; 461).
Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebutmaka akan terjadi pembagian kelarutan (Soebagio, 2002:34).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperature yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantungpada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Svehla, 1990; 140).
Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan berbagai rumus sebagai berikut : Kd= C2/c1 atau Kd= Co/Ca dengan Kd = Koefisien distrribusi, dan C1, C2, Co, dan Ca adalah konsentrasi solute pada pelarut 1,2 organik dan air (Soebagio, 2002: 34).
Sesuai dengan kesepakatan, konsentrasi solute dalam pelarut organic dituliskan di atas dan konsentrasi solute dalam pelarut di tuliskan di bawah. Dari rumus tersebut jika harga KD besar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organic begitu pula terjadi sebaliknya. Rumus tersebut di atas hanya berlaku bila ; (a) solute tidak terionisasi dalam salah satu pelarut, (b) solute tidak berasosiasi dalam salah satu pelarut, dan (c) zat terlarut tidak dapat bereaksi dengan salah satu pelarut atau adanya reaksi-reaksi lain (Soebagio, 2002: 34-35).
Hukum Fase Gibb’s menyatakan bahwa P + V = C = 2 dimana P = fase, C = komponen, V = derajat kebebasan. Pada ekstraksi pelarut, kita mempunyai P = 2, yaitu fase air dan organic, C = 1, yaitu zat terlarut di dalam pelarut dan fase air pada temperature dan tekanan tetap, sehingga V = 1. Jadi kita dapatkan ; 2 + 1 = 1 + 2, yaitu P + V = C + 2 (Khopkar, 2007; 85).
Menurut hukum distribusi Nernst, jika [X1] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 1 dan [X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan X1 dan X2 di dapat KD K_D= ([X_2])/([X_1]) dimana KD = koefisien partisi. Partisi atau koefisien distribusi ini tidak bergantung pada konsentrasi total zat terlarut pada kedua fase tersebut. Pada persamaan di atas, kita tidak menuliskan koefisien aktivitas zat pada fase organic maupun fase air (Khopkar, 2007; 85-86).
Iod mampu larut dalam air dan juga dalam kloroform. Akan tetapi, perbedaan kelarutannya dalam kedua pelarut tersebut cukup besar. Dengan mengekstraksi larutan iod dalam air ke dalam kloroform, menghitung konsentrasi awal dari iod dalam air dengan cara titrasi, maka dapat diperoleh konsentrasi iod dalam kedua pelarut tersebut, sehingga koefisien distribusi iod dalam system kloroform air dapat ditentukan (Anonim, 2010).
Hukum distrbusi atau partisi dapat dirumuskan apabila dalam suatu zat terlarut terdistribusi diatntara dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka pada temperature konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distrribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Dalam kesetimbangan kimia, jika tekanan diperbesar sama volume diperkecil, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien yang lebih kecil, dan jika tekanan diperkecil sama volume diperbesar, maka kesetimbangan akan bergeser kearah jumlah koefisien-koefisien gas yang lebih besar (Syabatini, 2009).
Apabila kedua pelarut yang berbeda kepolaran dalam kelarutan dicampurkan maka mereka tidak akan bisa bercampur. Diperlukannya suatu zat perantara untuk dapat membuat pelarut berbeda kepolaran tersebut bercampur. Dalam hal ini zat antara merupakan suatu zat yang dapat bercampur dalam keadaan polar apabila dilarutkan dalam suatu pelarut polar dan juga dapat bercampur apabila dilarutkan dalam pelarut nonpolar (Syabatini, 2009).
Suatu dasar agar solute dapat terekstrak dari fasa air ke fasa organic adalah suatu solute tersebut harus menjadi tidak bermuatan (Soebagio, 2002 ; 41).
Alat dan Bahan
Alat
Buret 50 mL 2 buah
Statif dan Klem 2 buah
Corong pisah 3 buah
Catang pengaduk 1 buah
Corong biasa 1 buah
Erlenmeyer bertutup asah 6 buah
Botol semprot 1 buah
Pipet volume 25 mL 1 buah
Pipet Volume 5 mL 1 buah
Ball Pipet 1 buah
Gelas ukur 25 mL 1 buah
Pipet tetes
Bahan
Larutan iod (I2)
Kloroform (CHCl3)
Indikator amilum
Aquadest (H2O)
Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
Cara Kerja
Penentuan Konsentrasi Iod sebenarnya
Memasukkan 5 mL larutan Iod ke dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menitrasi larutan iod dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan
Mengulangi cara kerja 1 sampai 3 sebanyak 3 kali
Menghitung volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan
Penentuan Konsentrasi Iod pada Pelarut Kloroform-Air
Mengisi 3 corong pisah masing-masing dengan 25 mL larutan iod
Menmbahkan 25 mL kloroform ke dalam setiap corong pisah
Mengocok larutan dengan kuat selama 15 menit kemudian membiarkannya sampai kedua pelarut terpisah
Mengeluarkan lapisan kloroform (lapisan bawah) dari corong pisah kemudian menampungnya dalam Erlenmeyer bertutup asah
Menampung lapisan air (lapisan atas) dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Melakukan titrasi pada lapisan kloroform dengan larutan standar Na2S2O3 sampai warna coklat dalam lapisan tersebut hilang. Melakukan titrasi ini tanpa indicator amilum
Melakukan titrasi pada lapisan air dengan larutan standar Na2S2O3 dengan menggunakan indicator amilum
Mencatat volume Na2S2O3 yang digunakan dalam titrasi pada lapisan air dan kloroform.
Hasil Pengamatan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Larutan iod (coklat) dititrasi larutan bening
Reflikasi Volume larutan Iod (mL) Volume larutan Na2S2O3 (mL)
1 5 12,0
2 5 12,3
3 5 12,2
Larutan standar Na2S2O3 = 0,1 N
Konsentrasi Iod dalam Masing-Masing Pelarut
Larutan iod 25 mL + larutan kloroform 25 mL dikocok 2 lapisan (atas coklat, bawah ungu)
Lapisan bawah (kloroform), (ungu) dititrasi larutan bening
Lapisan atas (air) + indicator amilum dititrasi larutan bening
Corong Pisah Lapisan Kloroform Lapisan air
Volume tio (mL) Volume tio (mL)
1 35,7 29,5
2 24,5 22,2
3 31,2 28,3

Analisis Data
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Corong 1
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 35, 7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 35,7 mL
25 mL
= 3, 57 N
25
= 0,1428 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 29,7 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 29,7 mL
25 mL
= 2,97 N = 0,1188 N
25
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 24,5 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 24,5 mL
25 mL
= 2,45 N
25
= 0,098 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 22,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 22,2 mL
25 mL
= 2,22 N
 
25
= 0,0888 N
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 31,2 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 31,2 mL
25 mL
= 3,12 N
25
= 0,1248 N
Lapisan air
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = 28,3 mL
V iod = 25 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 28,3 mL
25 mL
= 2,83 N
 
25
= 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Konsentrasi Iod dalam Kloroform = C1
Konsentrasi Iod dalam air = C2
Corong 1
Dik : C1 = 0,1428 N
C2 = 0,1188 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1428 N
0,1188 N
= 1,202
Corong 2
Dik : C1 = 0,098 N
C2 = 0,0888 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,098 N
0,0888 N
= 1,104
Corong 3
Dik : C1 = 0,1248 N
C2 = 0,1132 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,1248 N
0,1132 N
= 1,102
Pembahasan
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dalam percobaan ini, larutan iod dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,1 N. Larutan iod perlu distandarisasi agar dapat diketahui konsentrasinya sebagai perbandingan dengan konsentrasinya dalam air maupun kloroform.
Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari coklat (warna iod) menjadi bening. Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali agar diperoleh data yang lebih akurat. Pada tiga kali titrasi, volume larutan natrium tiosulfat yang digunakan berturut-turut adalah 12,0 mL, 12,3 mL, dan 12,2 mL dengan volume rata-rata 12,17 mL. Dari hasil tersebut diperoleh konsentrasi iod sebesar 0,2434 N
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
Dalam percobaan ini, larutan iod dimasukkan ke dalam tiga corong pisah setelah itu ditambahkan kloroform dan dikocok. Selanjutnya campuran didiamkan sampai larutan benar-benar terpisah menjadi dua lapisan dimana lapisan bawah adalah kloroform yang berwarna ungu sedang lapisan atas air yang berwarna coklat. Kedua lapisan tersebut kemudian dipisahkan dan ditampung dalam Erlenmeyer bertutup asah.
Kedua lapisan tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N. lapisan kloroform dititrasi sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 35,7 mL, corong 2 sebesar 24,5 mL dan corong 3 sebesar 31,2 mL sehingga diperoleh konsentrasi iod dalam kloroform berturut-turut adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N.
Lapisan air kemudian dititrasi pula dengan larutan standar Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi bening. Dalam titrasi ini digunakan indicator amilum yang berfungsi untuk mengetahui apakah seluruh iod telah habis bereaksi atau belum. Volume Na2S2O3 0,1 N yang digunakan pada corong 1 sebesar 29,7 mL, corong 2 sebesar 22,2 mL dan corong 3 sebesar 28,3 mL. dari hasil ini diperoleh konsentrasi iod dalam lapisan air berturut-turut adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Dari konsentrasi yang diperoleh baik pada lapisan air maupun kloroform, dapat diperoleh tetapan distribusi iod (KD) dengan rumus
K_D= C_1/C_2 =([I_2]kloroform)/[I_2 ]air
Sehingga dari rumus di atas diperoleh KD pada corong 1 sebesar 1,202, corong 2 sebesar 1,104 dan corong 3 sebesar 1,102. Hasil ini menunjukkan bahwa KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan lapisan air.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
 2I-
èReduksi : I2 + 2e  
 S4O62- + 2e
èOksidasi : 2S2O32-
 2I- + S4O62-
èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
 2NaI + Na2S4O6
è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Kesimpulan dan Saran
 
Kesimpulan
Dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa :
Konsentrasi iod yang sebenarnya adalah 0,2434 N
Konsentrasi Iod pada lapisan air adalah 0,1188 N; 0,0888 N; dan 0,1132 N sedang pada lapisan klorom adalah 0,1428 N; 0,098 N; dan 0,1248 N
KD > 1 yang berarti iod terdistribusi lebih banyak pada lapisan kloroform.
Saran
Dalam melakukan pengocokan, diharapkan melakukannya dengan lebih baik lagi agar campuran dapat merata saat proses pengocokan tersebut




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Koefisien Distribusi Iod. http://brown13zt.blogspot.com/ Koefisien- distribusi-iod.html. diakses pada 5 April 2010.
Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press.
Soebagio, dkk. 2002. Kimia Analitik II. Malang : JICA.
Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Bagian I. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.
Syabatini, Annisa. 2009. Tetapan Distribusi Iod. http://annisafushie. wordpress.com/2009/11/25/tetapan-distribusi-iod/ diakses pada 5 April 2010.
Tim Dosen Kimia Analitik. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Analitik II. Makassar : Laboratorium Kimia, FMIPA, UNM.








JAWABAN PERTANYAAN

KD = 1, artinya iod terdistribusi sama banyaknya ke dalam lapisan air dan lapisan kloroform
KD > 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan kloroform dibandingkan pada lapisan air
KD < 1, artinya iod terdistribusi lebih banyak ke dalam lapisan air dibandingkan pada lapisan kloroform
Reaksi :
 2I-
èReduksi : I2 + 2e  
 S4O62- + 2e
èOksidasi : 2S2O32-
 2I- + S4O62-
èI2 + 2S2O32-
Dengan reaksi lengkap :
 2NaI + Na2S4O6
è2Na2S2O3 + 2¬I¬2
Konsentrasi iod
Dik : N tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 12,0 mL + 12,3 mL + 12,2 mL
3
= 36,5 mL
3
= 12,17 mL
V iod = 5 mL
Dit : N iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N x 12,17 mL
5 mL
= 1,217 N
5
= 0,2434 N




I.                   Tujuan Percobaan          :
·                Menerangkan arti viskositas dan rheologi
·                Membedahkan cairan newton dan cairan non newton
·                Mengunakan alat-alat penentuan viskositas dan rheologi
·                Menentukan viskositas dan rheologi cairan newton dan non newton

II.                Teori Umum                    :
Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Makin besar resistensi suatu zat  cair  untuk  mengalir  semakin  besar  pula  viskositasnya.  Rheologi  adalah  ilmu  yang mempelajari sifat aliran zat cair atau deformasi zat padat. Viskositas mula-mula diselidiki oleh Newton, yaitu dengan mensimulasikan zat cair dalam bentuk tumpukan kartu seperti pada gambar berikut :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHm8fDbqRVBd772dNNa8c0zhmXTShslf4T4hgNL6Pnvo3AXz8I9H370CFEtz-3b9CKzL8mF-wGE1I0ewmCet4PmjTgYv8e0Xed9T7j4dGJLBVbMw7qCvgy4ed1xfhgeKCdTqeshu6-o0c/s1600/Untitled.png

Zat cair diasumsikan terdiri dari lapisan-lapisan molekul yang sejajar satu sama lain.Lapisan terbawah tetap diam, sedangkan lapisan di atasnya bergerak dengan kecepatankonstan,sehingga setiap lapisan akan bergerak dengan kecepatan yang berbanding langsung denganjaraknya terhadap lapisan terbawah yang tetap. Perbedaan kecepatan dv antara dua lapisan yangdipisahkan dengan jarak dx adalah dv/dx atau kecepatan geser (rate of share). Sedangkan gayasatuan luas yang dibutuhkan untuk mengalirkanzat cair tersebut adalah F/A atau tekanan geser (shearing stress)
Menurut Newton :
F/A     =  dv/dx
F/A     = ηdv/dx
η          =  F/Adv/dx
η          = koefisien viskositas, satuan Poise
Viskositas suatu zat dipengaruhi oleh suhu. Viskositas gas meningkat dengan bertambah tingginya suhu, sedangkan viskositas zat cair menurun denganmeningginya suhu. Hubungan antara viskositas dengan suhu tampak pada persamaan Arrhenius :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdETVMy55hEbkJzDglQfbh-v663R6nyZCUTPisvesFTv-eTFqis8NkxflEQxNfv35wwaNR7c4HKpEfA8RYQIzXczSDpfu5OWhjhTCFPLTAWC_oCcjbq5zaeX3eD1qCybVK8keTPTq-8bk/s1600/Untitled.png
 A         : konstanta yang tergantung pada berat molekul dan volume molar zat cair
Ev        : energi aktivasi
R         : konstanta gas
T          : suhu mutlak
Hampir seluruh sistem dispersi termasuk sediaan-sediaan farmasi yang berbentuk emulsi,suspense, dan sediaan setengah padat tidak mengikuti hukum Newton. Viskosita cairan semacamini bervariasi pada setiap kecepatan geser, sehingga untuk mengetahui sifat alirannya dilakukan pengukuran pada beberapa kecepatan geser. Untuk menentukan viskositasnya diper-gunakan viscometer rotasi Stormer.           
Berdasarkan grafik sifat alirannya (rheogram), cairan non Newton terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu.Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Aliran plastik
b) Aliran pseudoplastik
c) Aliran dilatan

2. Cairan yang sifat alirannya dipengaruhi oleh waktu.
Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Tiksotropik
b) Antitiksotropik
c) Rheopeksi

            peralatan yang digunakan untuk mengukur viskosita dan rheologi suatu zat cair disebut viskometer. Ada dua jenis viskometer, yaitu :
1.      Viskosimeter Satu Titik
Viskosimeter ini bekerja pada titik kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Ekstrapolasi dari titik tersebut ke titik nol akan menghasilkan garislurus. Alat ini hanya dapat digunakan untuk menentukan viskositas cairan Newton.Yang termasuk dalam jenis ini misalnya viskosimeter kapiler, bola jatuh, penetrometer, plastometer ,dll.
2.      Viskosimeter Banyak Titik
Dengan viskosimeter ini dapat dilakukan pengukuran pada beberapa harga kecepatangeser sehingga diperoleh rheogram yang sempurna. Viskosimeter jenis ini dapat jugadigunakan baik untuk menentukan viskositas dan rheologi cairan Newton maupun nonNewton. Yang termasuk ke dalam jenis viskosimeter ini adalah viskosimeter rotasi tipeStormer, Brookfield, Rotovico, dll.
            Cairan yang mengikuti hukum Newton, viskositasnya tetap pada suhu dan tekanan tertentu dan tidak tergantung pada kecepatan geser. Oleh karena itu, vis-kositanya cukup ditentukan pada satu kecepatan geser. Viskometer yang dapat dipergunakan untuk keperluan itu adalah viskometer kapiler atau bola jatuh.  Apabila digambarkan antara kecepatan geser terhadap tekanan geser, maka diperoleh grafik garis lurus melalui titik nol seperti gambar grafik dibawahini. Contoh cairan Newton adalah minyak jarak, kloroform, gliserin, minyak zaitun, dan air.
           Viskometer  bola  jatuh  merupakan  viskosimeter  satu  titik  yang  digunakan  untuk menentukan viskosita cairan newton. Viskosimeter ini bekerja pada satu titik kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Pada viskometer ini sampel  dan  bola  diletakkan  dalam  tabung   gelas  dan  dibiarkan  mencapai  temperatur keseimbangan dengan air yang berada dalam jaket di sekelilingnya pada temperatur konstan. Tabung dan jaket air tersebut kemudian dibalik, yang akan menyebabkan bola berada padapuncak tabung gelas dalam. Waktu bagi bola tersebut untuk jatuh antara dua tanda diukur dengan teliti dan diulangi beberapa kali. 
Prinsip kerja dari  viskometer bola jatuh adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu tetap. Viskometer Hoeppler, seperti terlihat pada Gambar, merupakan alat yang ada dalam perdagangan berdasarkan pada prinsip ini.  Pada viskosimeter Hoeppler tabungnya dipasang miring sehingga kecepatan bola jatuh akan berkurang sehingga pengukuran dapat dilakukan lebih teliti. Viskometer ini cocok digunakan untuk cairan yang mempunyai viskositas yang sukar diukur dengan viskosimeter kapiler.
Selanjutnya, viskositas cairan dapat dihitung dengan persamaan stokes yaitu :
η = 2r212)g/9v
Keterangan :    r =  jari-jari bola (cm)
ρ 1= bobot jenis bola
ρ 2= bobot jenis cairan
g = gaya gravitasi
v = kecepatan bola (cm.detik -1)
Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :
η= B(ρ12)t
Keterangan :    B = konstanta bola
T = waktu tempuh boal jatuh(detik)

III.             Alat dan Bahan   :
Alat    
1.      Viskometer ostwald
2.      Piknometer
3.      Timbangan analitik
4.      Gelas ukur
Bahan
1.      Propilen glikol
2.      Aquadest
3.      gliserin
IV.             Prosedur Kerja   :
Penetuan Kekentalan Cairan Dengan Viskometer Ostwald
1.      Viskometer dibersikan dan dikeringkan
2.      Cairan yang akan ditentukan kekentalanya di masukan melalui pipa a sampai ruang r penuh terisi
3.      Cairan dihisap melalui pipa b sampai naik melewati garis m
4.      Cairan dibiarkan turun sampai garis n
5.      Catat waktu yang dibutukan cairan untuk mengalir dari garis m ke n
6.      Lakukan 3 kali pengulangan data

Penentuan Kekentalan Cairan Dengan Viskometer Bola Jatuh
Prosedur kerja :
1.             Pasang Alat Dan Perangkat Pada Posisi Yang Tara
2.             Tabung Gelas Disi Dengan Cairan Yang Akan Ditentukan Kekentalanna ,Kemudian Tutup Tabung Dengan Hati-Hati Dan Jangan Sampai Terdapat Gelembung Udara Di Dalamnya
3.             Masukan Bola Yang Sesuai Dan Apabila Bola Suda Turun Melampaui Garis Awal,Kembalikan Bola Pada Posisi Semula Dengan Car Membalikan Tabung
4.             Catat Waktu Tempuh Bola Melalui Tabung Mulai Garis Awal Sampai Garis Akhir Dalam Detik
5.             Tentukan Bobot Jenis / Kerapatan Dengan Piknometer
6.             Hitung Kekentalan Cairan Dengan Persamaan :
                 ɳ = t (sb – sr)B
                Keterangan :
                        ɳ   =  kekentalan
                        t    =  waktu bola jatuh (dtk)
                        sb  =  kerapatan bola yang digunakan
                        sr   =  kerapatan cairan sampel
                        B =  konstanta bola




V.                Hasil Percobaan dan Perhitungan         :
Pengolahan data
A.    Penentuan Kerapatan Cairan
-          Air            
Bobot Pikno Kosong (W1)            : 15,4420 g
Bobot Pikno + Air            (W2)                : 40,6014 g
Bobot Pikno + Sample-Air (W3)   : 40,6014 g
Bobot Air                                      : 25,1594 g
Kerapatan Air (ρ)                          :
W3-W1  = 40,6014 - 15,4420  = 25.1594 = 1 g/mol
W2-W1     40,6014 - 15,4420     25.1594
                   
-          Gliserin
Bobot Pikno Kosong (W1)            : 14,2575 g
Bobot Pikno + Air            (W2)                : 39,3293 g
Bobot Pikno + Gliserin (W3)         : 45,7398 g
Bobot Gliserin                              : 31,4823 g
Kerapatan Gliserin (ρ)                   :
W3-W1  = 45,7398 - 14,2575  = 31,4823 = 1,2557 g/mol
W2-W1     39,3293 - 14,2575     25,0718

-          Propilen Glikol
Bobot Pikno Kosong (W1)                        : 15,3077 g
Bobot Pikno + Air            (W2)                            : 40,4184 g
Bobot Pikno + Propilenglikol (W3)           : 41,4128 g
Bobot Propilenglikol                                 : 31,4823 g
Kerapatan Propilen Glikol (ρ)       :
W3-W1  = 41,4128 - 15,3077  = 31,4823 = 1,2537 g/mol
W2-W1     40,4184 - 15,3077     25,1107

-          Alkohol
Bobot Pikno Kosong (W1)                        : 15,4420 g
Bobot Pikno + Air            (W2)                            : 40,6014 g
Bobot Pikno + Alkohol (W3)                    : 35,6724 g
Bobot Alkohol                                         :
Kerapatan Alkohol (ρ)      :
W3-W1  = 35,6724 - 15,4420  = 20,2304 = 0,8041 g/mol
W2-W1     40,6014 - 15,4420     25.1594






B.     Penentuan Nilai Viskositas
Bahan
Waktu
Percobaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Rata-Rata
Air
2,4 Menit
2,4 Menit
2,4 Menit
2,4 Menit
Alkohol
4,14 Menit
4,31 Menit
4,16 Menit
4,20 Menit
Gliserin
26,32 detik
26,72 detik
26,78 detik
26,61 detik
Propilen Glikol
1,9 detik
1,82 detik
1,88 detik
1,87 detik

Viskometer Ostwald
                   η1 = t1 ρ1
                   η2 = t2 ρ2
Diketahui :
η Air : 0,89 cp (Handbook of Pharmaceutical Excipient, 6th edition)
v  Viskositas Alkohol
η1 = t1 ρ1  , 0,89 cp = 2,4 x 1
η2 = t2 ρ2    η2 = 4,20 x 0,8041
η2 = 4,20 x 0,8041x 0,89 cp
                  2,4 x 1
η2 = 1,25 cp
Viskometer Bola Jatuh
Order No.-
Ball No.
Made of
Density
(ρ)

g/cm3
Diameter of the ball

mm
Constant K (approx.)

mPa s cm3/ g s
Recomm, Measuring range
mPa s
800-0002
1
Boron silica glass
2,2
15,81 + 0,01
0,007
0,6 - 10
800-0003
2
Boron silica glass
2,2
15,6 + 0,05
0,09
7 - 130
800-0004
3
Nickel iron alloy
8,1
15,6 + 0,05
0,09
30 - 700
800-0005
4
Nickel iron alloy
8,1
15,2 + 0,1
0,7
200 - 4800
800-0006
5
W.-No. 4034
7,7-8,1
14,0 + 0,5
4,5
800 -10000
800-0007
6
W.-No. 4034
7,7-8,1
11,0  + 1
33
6000-75000
 Tabel 1 . Tabel Data Pemilihan Bola pada Viskometer Bola Jatuh
Rumus Perhitungan Viskositas :
                                    η = t (Sb-Sr) B





v  Viskositas Gliserin
    η = t (Sb-Sr) B
     η = 26,61 (7,7 - 1,2557) 4,5
     η = 771,67 cp

v  Viskositas Propilen Glikol
     η = t (Sb-Sr) B
     η = 1,87 (7,7 - 1,2537) 4,5
     η = 54,83 cp

Data literatur (Sumber : Handbook of Excipient)
Viskositas air : 0,89 cp
Rho gliseirn : 1, 2626 g/cm3
Rho propilenglikol : 1,038 g/cm3
Visko p : 58,1 cp

VI.             Pembahasan                    :
            Pada percobaan kali ini, kita akan menentukan viskositas suatu cairan menggunakan viskometer. Cairan yang kita tentukan nilai viskositasnya adalah alkohol, gliserin, dan propilen glikol. Sebagaimana yang kita ketahui alkohol, gliserin, dan propilrn glikol memiliki hukum aliran yang mengikuti hukum Newton. Untuk menentukan viskositas suatu cairan yang mengikuti hukum newton, kita dapat menggunakan alat viskometer yang disebut dengan viskometer Ostwald dan viskometer Bola Jatuh.
            Untuk menentukan viskositas alkohol dapat digunakan viskometer Ostwald. Sedangkan untuk menentukan viskositas gliserin dan propilen glikol menggunakan viskometer Bola Jatuh. Hal ini dikarenakan gliserin dan propilen glikol lebih kental daripada alkohol, sehingga jika digunakan viskometer Ostwald akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat mengalir.
Prinsip kerja viskometer Ostwald ini adalah suatu cairan dihitung waktu tempuhnya dari garis m ke garis n. Setelah itu dihitung viskositasnya dengan membandingkan dengan air yang telah diketahui viskositasnya yaitu 1. Sedangkan prinsip kerja dari  viskometer bola jatuh adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu tetap. Pada viskosimeter Bola Jatuh tabungnya dipasang miring sehingga kecepatan bola jatuh akan berkurang sehingga pengukuran dapat dilakukan lebih teliti. Viskometer ini cocok digunakan untuk cairan yang mempunyai viskositas yang sukar diukur dengan viskosimeter Ostwald.
Untuk menghitung nilai viskositas masing-masing cairan, harus dicari terlebih dahulu kerapatannya. Dari data hasil percobaan didapat bahwa kerapatan masing-,asing cairan sebagai berikut :
1.      Alkohol                 = 0,8041 g/mol,
2.      Gliserin                  = 1,2557 g/mol
3.      Propilen glikol       = 1,2537 g/mol.
Terdapat sedikit perbedaan nilai kerapatan masing-masing cairan hasil percobaan dibandingkan dengan yang ada pada literatur. Hal ini juga dapat berpengaruh pada nilai viskositas hasil perhitungan. Perbedaan ini mungkin disebabkan kurang telitinya praktikan pada saat penimbangan pikometer.
Dari data hasil percobaan diperoleh nilai viskositas masing-masing cairan adalah:
1.      Alkohol                 à 1,25 cp
2.      Gliserin                  à 771,67 cp
3.      Propilen glikol       à 54,83 cp
Dari data tersebut menunjukkan bahwa cairan yang memiliki nilai viskositas paling besar adalah gliserin dan cairan yang memiliki nilai viskositas paling kecil adalah alkohol.

VII.          Kesimpulan                      :
Dari data pengamatan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Alkohol, gliserin, dan propilen glikol merupakan cairan yang megikuti hukum newton.
2.      Untuk menentukan viskositas cairan yang mengikuti hukum Newton digunakan viskometer satu titik, misalnya viskometer Ostwald, viskometer bola jatuh, dan lain sebagainya.
3.      Untuk menentukan nilai viskositas alkohol dapat digunakan Viskometer Ostwald.
4.      Untuk menentukan nilai viskositas gliserin dan propilen glikol dapat digunakan Viskometer Bola Jatuh.
5.      Prinsip kerja viskometer ostwald ini adalah suatu cairan dihitung waktu tempuhnya dari garis m ke garis n.
6.      Prinsip kerja dari  viskometer bola jatuh adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu tetap.
7.      Diperoleh nilai viskositas hasil percobaan masing-masing cairan sebagai berikut :
Alkohol                       à 1,25 cp
Gliserin                        à 771,67 cp
Propilen glikol             à 54,83 cp

VIII.       Daftar Pustaka
Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen kesehatan RI
Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Handbook Of Pharmaceutical Exipent
Martin, Alferd., Swarbick, James & cammarata, Arthur.1993.Farmasi Fisik Dasar-Dasar dalam Ilmu Farmasetik.UI Press:Jakarta


  
LAPORAN  PRAKTIKUM
KESETIMBANGAN DAN DINAMIKA KIMIA

VOLUM MOLAL PARSIAL

Nama Praktikan                : Rega Wahyu Anggraini
LABORATORIUM KIMIA FISIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2011

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Dikehidupan sehari-hari kita mengenal dua materi yaitu materi murni dan materi campuran. Jarang sekali kita temukan materi murni di alam dan di lingkungan sekitar kita. Kebanyakan dari materi-materi tersebut tersusun atas campuran-campuran dari suatu zat. Campuran ada yang homogen dan ada pula yang heterogen. Kesetimbangan kimia, juga mengenal adanya campuran biner, yaitu suatu campuran yang terdiri dari dua macam zat.
Kita pernah mengenal tekanan parsial gas dalam campuran gas, yaitu kontribusi satu komponen dalam campuran gas terhadap tekanan totalnya. Sekarang dalam campuran cair-cair atau larutan-larutan tentunya juga ada sifat-sifat parsial lain sifat-sifat ini yang membantu kita dalam menjelaskan bagaimana komposisi dari suatu campuran dan bisa pula digunakan untuk menganalisis sifat-sifatnya. Sifat parsial lain yang paling mudah digambarkan adalah volume molar gas. Mempelajari volume molar gas secara lebih lanjut, nantinya kita akan mampu menentukan seberapa banyak zat A atau zat B yang ada dalam suatu campuran. Oleh karena itu untuk mengetahuinya maka dilakukan percobaan “Volum Molal Parsial” ini.
1.2              Rumusan Masalah
1)      Bagaimana cara menentukan volum molal parsial komponen larutan ?

BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1       MSDS
2.1.1    Natrium Klorida
Sifat fisik NaCl (Natrium Chlorida):
§  Berbentuk kristal
§  Tidak berwarna
§  Higroskopis
§  Sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam air dan gliserol (Sarjoni, 2003:20 ).
§  Memiliki berat molekul 58,44
§  Berbentuk padatan putih dengan struktur bongkahan Kristal
§  Titik lelehnya 800,6oC
§  Titik didihnya 1,413oC
(Ensiklopedi nasional Indonesia, 1990:47).
2.1.2        Aquades
Aquades disebut juga Aqua Purificata (air murni) H2O dengan. Air murni adalah air yang dimurnikan dari destilasi. Satu molekul air memiliki dua hidrogen atom kovalen terikat untuk satu oksigen.
Sifat fisik dan kimia :
§  Penampilan: cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau.
§  Berat molekul : 18,0
§  PH             : antara 5-7
§  Rumus kimia : H2O
§  Berbentuk cair
§  Tidak berwarna
§  Tidak berbau
§  Tidak mempunyai rasa
§  Titik didih 1000C
§  Titik beku 00C
§  Bentuk alltropnya adalah es (padat) dan uap (gas)
§  Elektrolit lemah
§  Terionisasi menjadi H3O+ dan OH-.
Air dihasilkan dari pengoksidasian hidrogen dan banyak digunakan sebagai bahan pelarut bagi kebanyakan senyawa dan sumber listrik (Sarjoni,2003:241).
2.2              Volum molal parsial
Molal atau molalita didefinisikan sebagai jumlah mol solute per kg solven. Berarti merupakan perbandingan antara jumlah mol solute denganmassasolven dalam kilogram.
Molal =
Jadi, jika ada larutan 1,00 molal maka mengandung 1,00 mol solute tiap 1,00 kg solven (Brady,1990:592).
Volum molar parsial adalah kontribusi pada volum, dai satu komponen dalam sample terhadap volum total. Volum molar parsial komponen suatu campurn berubah-ubah tergantung pada komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah jika komposisinya berubah dari a murni ke b murni. Perubahan lingkungan molekuler dan perubahan gay-gaya yang bekerja antara molekul inilah yang menghsilkan variasi sifat termodinamika campuran jika komposisinya berubah (Atkins, 1993:170)
Termodinamika terdapat 2 macam larutan, yaitu larutan ideal dan larutan tidak ideal. Suatu larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Raoult pada seluruh kisaran komposisi dari system tersebut. Untuk larutan tidak ideal, dibagi menjadi 2 yaitu:
1.     Besaran molal parsial, misalnya volume molal parsial dan entalpi
2.     Aktivitas dan koefisien aktifitas.
Secara matematik sifat molal parsial didefinisikan sebagai:
Dimana,  adalah sifat molal parsial dari komponen ke-i. Secara fisik    berarti kenaikan dalam besaran termodinamik J yang diamati bila satu mol senyawa I ditambahkan ke suatu sistem yang besar sehingga komposisinya tetap konstan (Dogra,1990:580).
Ada3 sifat termodinamik molal parsial utama, yakni: (i) volume molal parsial dari komponen-komponen dalam larutan, (ii) entalpi molal parsial dan (iii) energi bebas molal parsial. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal parsial dari suatu komponen dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa murni adalah sama jika larutan tersebut ideal (Dogra,1990:580).
Volume molal parsial sendiri, komponen pada sistem larutan dapat didefinisikan sebagai:
(1)
Dimana:
V = Volume                n = Jumlah mol
T = Temperatur           P = Tekanan
Volume larutan adalah fungsi temperatur, tekanan dan jumlah mol komponen yang dituliskan:
V = V (T,P,n, . . . .)                             (2)
Sehingga:
dV =           (3)
Pada temperatur dan tekanan tetap, dengan menggunakan   persamaan (1) dan (3) menjadi:
dV =  +  + ….               (4)
Volume molal parsial adalah tetap pada kondisi komposisi temperatur dan tekanan tetap. Dari persamaan (4) pada kondisi tersebut memberikan persamaan:
V =  (5)
Oleh karena  …. = 0, maka volume V adalah nol, sehingga tetapan  0, maka persamaan 5 menjadi :
V =                      (6)
Deferensiasi dari persamaan (6) menghasilkan :
dV =  +  +  + ….)
Jika digabung dengan persamaan (4) memberikan hasil (pada temperatur dan tekanan tetap) :
+  + …. = 0                           (7)
Persamaan di atas adalah persamaan Gibbs-Duhem untuk volume.
Untuk sistem larutan biner, volume molal semu untuk zat larut         didefinisikan sebagai :
Ǿ =                                        (8)
Dengan  adalah volume molal pelarut murni (Tim kimia fisika, 2011:8).


BAB 3 Metodologi Percobaan
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat yang digunakan adalah:
1.     Neraca digital
2.     Labu ukur
3.     Pipet volum
4.     Botol semprot
5.     Beaker glass
6.     Piknometer
7.     Termometer
3.1.2. Bahan yang digunakan adalah:
1.     NaCl
2.     Aquades
3.     Air
Skema kerja

NaCl
-  Ditimbang.
-  Dilarutkan dalam 50 ml air.
-  Larutan diencerkan dengan konsentrasi ½; ¼; 1/8; 1/16.
-  Dipipet 25 ml dan dilarutkan dalam labu ukur 50 ml untuk setiap pengenceran.
-  Ditambahkan aquades sampai tanda batas.
-  Dilakukan penimbang terhadap piknometer kosong, piknometer berisi aquades penuh, piknometer berisi NaCl penuh.
-  Dicatat konsentrasinya.
Hasil
-  Dicatat temperaturnya.
BAB 4 Hasil dan Pembahasan

4.1       Hasil
§  Massa piknometer kosong = 30,671 gram
§  Volume piknometer = 10 mL
Pengulangan
Temperatur piknometer + air
Massa piknometer + air
I
II
III
28°C
28,2°C
28,2°C
40,637 gram
40,643 gram
40,640 gram
Rata-rata
28,2°C
40,64 gram

Konsentrasi
Pengulangan
Massa piknometer + larutan NaCl
Temperatur piknometer + larutan NaCl
3 M
I
II
III
41,085 gram
41,086 gram
41,086 gram
28,8°C
29°C
29°C
Rata-rata
40,752 gram
28,9°C
1,5 M
I
II
III
40,772 gram
40,771 gram
40,772 gram
30°C
29,8°C
29,8°C
Rata-rata
40,772 gram
29,6°C
0,75 M
I
II
III
40,354 gram
40,356 gram
40,342 gram
29,6°C
29,6°C
29,6°C
Rata-rata
40,351 gram
29.6°C
0,375 M
I
II
III
40,419 gram
40,416 gram
40,415 gram
29,8°C
29,8°C
29,6°C
Rata-rata
40,417 gram
29,7°C
0,185 M
I
II
III
40,649 gram
40,849 gram
40,841 gram
30,08°C
30,04°C
30,02°C
Rata-rata
40,780 gram
30,05°C

Temperatur
28,9°C
29,6°C
29,6°C
29,7°C
30,05°C
0,995973
0,995766
0,995766
0,995736
0,995646
4.2       Pembahasan
Percobaan ini menggunakan bahan NaCl dan akuades, NaCl berfungsi sebagai zat terlarut dan akuades sebagai pelarut. NaCl digunakan karena merupakan larutan elekrolit kuat yang akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- di dalam air dan mampu menyerap air tanpa adanya penambahan volume suatu larutan, sehingga disebut dengan volume molal parsial semu. Reaksi yang terjadi pada langkah ini adalah : NaCl       Na+ + Cl-.
4.2.1    Pengertian volum molar parsial
Volume molal parsial merupakan volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut dengan zat terlarut, yang ditentukan oleh banyaknya zat mol zat terlarut yang terdapat dalam 1000 gram pelarut.
4.2.2    Hubungan konsentrasi dengan volum molar parsial
Perbedaan konsentrasi larutan NaCl menghasilkan densitas yang berbeda-beda pula. Semakin tinggi konsentrasi larutan, densitasnya juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi suatu larutan, menunjukkan jumlah partikel dalam larutan tersebut semakin banyak. Dengan kata lain, konsentrasi suatu larutan berbanding lurus dengan densitas larutan.
Volume molal parsial sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan tersebut. Semakin tinggi konsentrasinya maka volume molal parsialnya semakin tinggi pula atau dengan kata lain berbanding terbalik. Volume molal dari suatu komponen larutan dapat diukur dengan membagi volume total dari larutan dengan jumlah mol komponen larutannya.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara volume molal parsial dengan molaritas adalah berbanding terbalik.
Konsentrasi suatu zat sangat berpengaruh terhadap berat piknometer yang nantinya akan ditimbang. Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin berat pula piknometer tersebut. Hal ini dapat terjadi karena penyusun dari larutan NaCl yang konsentrasinya besar lebih banyak mengandung zat NaCl daripada air sehingga beratnya menjadi lebih besar, yang kita ketahui bersama bahwa NaCl adalah suatu padatan yang dibuat menjadi larutan, Na Cl memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada air (pelarutnya).
Pada penimbangan piknometer, dilakukan dari larutan yang konsentrasinya kecil ke yang konsentrasinya besar. Hal ini dilakukan agar nantinya berat yang ditimbang untuk yang konsentrasinya kecil tidak dipengaruhi oleh yang konsentrasinya besar. Konsentrasi yang besar dapat mempengaruhi konsentrasi yang kecil berubah menjadi agak besar pula walaupun tidak sama. Tetapi yang konsentrasinya kecil tidak mempengaruhi konsentrasi yang besar. Hal ini dilakukan karena piknometer yang digunakan hanya 1 buah, jadi menghindari terjadinya kesalahan yang besar pada percobaan.
4.2.3    Perbedaan temperatur untuk setiap konsentrasi.
Suhu dan konsentrasi larutan berbanding lurus, jika konsentrasinya tinggi maka suhu larutan juga tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal itu sering dijumpai ketika suatu larutan pekat memiliki suhu yang lebih tinggi disbanding hasil pengencerannya. Namun hasil percobaan, didapatkan suhu yang rendah saat konsentrasinya tinggi, yaitu 28,9°C pada konsentrasi 3 M, 29,6°C pada konsentrasi 1.5 M, 29.6°C pada konsentrasi 0. 75 M, 29,7°C pada konsentrasi 0.375 M, 30,05°C pada konsentrasi 0.185 M. Hal itu disebabkan karena banyak factor,  misalnya pengaruh udara dalam piknometer saat di timbang, kesalahan praktikan saat melakukan percobaan, serta karena alat yang fungsinya tidak optimal lagi.
4.2.4    Sifat termodinamika molal parsial
Ada tiga sifat termodinamik molal parsial utama, yakni : (1) volume molal parsial dari komponen-komponen dalam larutan, (2) entalpi molal parsial (juga disebut sebagai panas diferensial larutan) dan (3) energi bebas molal parsial (disebut potensial kimia).
BAB 5 Penutup

3.1       Kesimpulan
1.     Volume molal parsial adalah volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut (solven) dengan zat terlarut (solute).
2.     Konsentrasi berbanding lurus dengan volum molal parsial.
3.     Semakin besar konsentrasi, maka semakin tinggi suhunya. Begitu pula sebaliknya.
3.2       Saran
1.     Seharusnya praktikan menguasai materi praktikum sebelum melakukan percobaan.
2.     Ketelitian dan kecermatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengamatan.
3.     Kebersihan alat menjadi faktor penting dalam mendapatkan data yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. aquades. http://id.wikipedia.org.wiki/Aseton, diakses tanggal 15 Maret 2011.
Anonim. 2011Natrium klorida. http://id.wikipedia.org.wiki/klorofom,diakses tanggal 15 Maret 2011.
Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan soal – soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soekardjo. 1989. Kimia Fisik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nasional, Ensiklopedia. 1988. A- Amy jilid 1. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Sardjoni.2003. Kamus Kimia. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tim Penyusun. 2011. Penuntun Praktikum Kesetimbangan dan Dinamika Kimia. Jember : Laboratorium Kimia Fisika FMIPA UNEJ.
Lampiran Perhitungan

1.     1.    Perhitungan Massa Jenis Larutan
A.    3 M
1.     1,5 M
1.     0,75 M
1.     0,375 M
1.     0,1875 M

1.     2.      Perhitungan Molalitas
2.     3 M
1.     1.5 M
1.     0.75 M
1.     0.375 M
1.     0.1875 M

1.     3.      Perhitungan volum molal semu
1.     Konsentrasi 3 M
2.     Konsentrasi 1,5 M
3.     Konsentrasi 0.75 M
4.     Konsentrasi 0.375M
5.     Konsentrasi 0.1875 M
Grafik volume molal semu vs molalitas

1.     4.      Menghitung nilai volume molal parsial pelarut (V1)
a)                  NaCl 3 M
b)                  NaCl 1.5 M (1/2)
c)                  NaCl 0.75 M (1/4)
d)                 NaCl 0,375 M (1/8)
e)                  NaCl 0.1875 M (1/16)

Grafik volume 1 vs molalitas

1.     5.      Menghitung nilai volume molal parsial pelarut (V2)
2.     NaCl 3 M
1.     NaCl 1.5 M
1.     NaCl 0,75 M
1.     NaCl 0,375 M
1.     NaCl 0,1875 M
Grafik volume 2 vs molalitas
  
LAPORAN  PRAKTIKUM
KESETIMBANGAN DAN DINAMIKA KIMIA

VOLUM MOLAL PARSIAL

Nama Praktikan                : Rega Wahyu Anggraini
LABORATORIUM KIMIA FISIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2011

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Dikehidupan sehari-hari kita mengenal dua materi yaitu materi murni dan materi campuran. Jarang sekali kita temukan materi murni di alam dan di lingkungan sekitar kita. Kebanyakan dari materi-materi tersebut tersusun atas campuran-campuran dari suatu zat. Campuran ada yang homogen dan ada pula yang heterogen. Kesetimbangan kimia, juga mengenal adanya campuran biner, yaitu suatu campuran yang terdiri dari dua macam zat.
Kita pernah mengenal tekanan parsial gas dalam campuran gas, yaitu kontribusi satu komponen dalam campuran gas terhadap tekanan totalnya. Sekarang dalam campuran cair-cair atau larutan-larutan tentunya juga ada sifat-sifat parsial lain sifat-sifat ini yang membantu kita dalam menjelaskan bagaimana komposisi dari suatu campuran dan bisa pula digunakan untuk menganalisis sifat-sifatnya. Sifat parsial lain yang paling mudah digambarkan adalah volume molar gas. Mempelajari volume molar gas secara lebih lanjut, nantinya kita akan mampu menentukan seberapa banyak zat A atau zat B yang ada dalam suatu campuran. Oleh karena itu untuk mengetahuinya maka dilakukan percobaan “Volum Molal Parsial” ini.
1.2              Rumusan Masalah
1)      Bagaimana cara menentukan volum molal parsial komponen larutan ?

BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1       MSDS
2.1.1    Natrium Klorida
Sifat fisik NaCl (Natrium Chlorida):
§  Berbentuk kristal
§  Tidak berwarna
§  Higroskopis
§  Sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam air dan gliserol (Sarjoni, 2003:20 ).
§  Memiliki berat molekul 58,44
§  Berbentuk padatan putih dengan struktur bongkahan Kristal
§  Titik lelehnya 800,6oC
§  Titik didihnya 1,413oC
(Ensiklopedi nasional Indonesia, 1990:47).
2.1.2        Aquades
Aquades disebut juga Aqua Purificata (air murni) H2O dengan. Air murni adalah air yang dimurnikan dari destilasi. Satu molekul air memiliki dua hidrogen atom kovalen terikat untuk satu oksigen.
Sifat fisik dan kimia :
§  Penampilan: cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau.
§  Berat molekul : 18,0
§  PH             : antara 5-7
§  Rumus kimia : H2O
§  Berbentuk cair
§  Tidak berwarna
§  Tidak berbau
§  Tidak mempunyai rasa
§  Titik didih 1000C
§  Titik beku 00C
§  Bentuk alltropnya adalah es (padat) dan uap (gas)
§  Elektrolit lemah
§  Terionisasi menjadi H3O+ dan OH-.
Air dihasilkan dari pengoksidasian hidrogen dan banyak digunakan sebagai bahan pelarut bagi kebanyakan senyawa dan sumber listrik (Sarjoni,2003:241).
2.2              Volum molal parsial
Molal atau molalita didefinisikan sebagai jumlah mol solute per kg solven. Berarti merupakan perbandingan antara jumlah mol solute denganmassasolven dalam kilogram.
Molal =
Jadi, jika ada larutan 1,00 molal maka mengandung 1,00 mol solute tiap 1,00 kg solven (Brady,1990:592).
Volum molar parsial adalah kontribusi pada volum, dai satu komponen dalam sample terhadap volum total. Volum molar parsial komponen suatu campurn berubah-ubah tergantung pada komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah jika komposisinya berubah dari a murni ke b murni. Perubahan lingkungan molekuler dan perubahan gay-gaya yang bekerja antara molekul inilah yang menghsilkan variasi sifat termodinamika campuran jika komposisinya berubah (Atkins, 1993:170)
Termodinamika terdapat 2 macam larutan, yaitu larutan ideal dan larutan tidak ideal. Suatu larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Raoult pada seluruh kisaran komposisi dari system tersebut. Untuk larutan tidak ideal, dibagi menjadi 2 yaitu:
1.     Besaran molal parsial, misalnya volume molal parsial dan entalpi
2.     Aktivitas dan koefisien aktifitas.
Secara matematik sifat molal parsial didefinisikan sebagai:
Dimana,  adalah sifat molal parsial dari komponen ke-i. Secara fisik    berarti kenaikan dalam besaran termodinamik J yang diamati bila satu mol senyawa I ditambahkan ke suatu sistem yang besar sehingga komposisinya tetap konstan (Dogra,1990:580).
Ada3 sifat termodinamik molal parsial utama, yakni: (i) volume molal parsial dari komponen-komponen dalam larutan, (ii) entalpi molal parsial dan (iii) energi bebas molal parsial. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal parsial dari suatu komponen dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa murni adalah sama jika larutan tersebut ideal (Dogra,1990:580).
Volume molal parsial sendiri, komponen pada sistem larutan dapat didefinisikan sebagai:
(1)
Dimana:
V = Volume                n = Jumlah mol
T = Temperatur           P = Tekanan
Volume larutan adalah fungsi temperatur, tekanan dan jumlah mol komponen yang dituliskan:
V = V (T,P,n, . . . .)                             (2)
Sehingga:
dV =           (3)
Pada temperatur dan tekanan tetap, dengan menggunakan   persamaan (1) dan (3) menjadi:
dV =  +  + ….               (4)
Volume molal parsial adalah tetap pada kondisi komposisi temperatur dan tekanan tetap. Dari persamaan (4) pada kondisi tersebut memberikan persamaan:
V =  (5)
Oleh karena  …. = 0, maka volume V adalah nol, sehingga tetapan  0, maka persamaan 5 menjadi :
V =                      (6)
Deferensiasi dari persamaan (6) menghasilkan :
dV =  +  +  + ….)
Jika digabung dengan persamaan (4) memberikan hasil (pada temperatur dan tekanan tetap) :
+  + …. = 0                           (7)
Persamaan di atas adalah persamaan Gibbs-Duhem untuk volume.
Untuk sistem larutan biner, volume molal semu untuk zat larut         didefinisikan sebagai :
Ǿ =                                        (8)
Dengan  adalah volume molal pelarut murni (Tim kimia fisika, 2011:8).


BAB 3 Metodologi Percobaan
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat yang digunakan adalah:
1.     Neraca digital
2.     Labu ukur
3.     Pipet volum
4.     Botol semprot
5.     Beaker glass
6.     Piknometer
7.     Termometer
3.1.2. Bahan yang digunakan adalah:
1.     NaCl
2.     Aquades
3.     Air
Skema kerja

NaCl
-  Ditimbang.
-  Dilarutkan dalam 50 ml air.
-  Larutan diencerkan dengan konsentrasi ½; ¼; 1/8; 1/16.
-  Dipipet 25 ml dan dilarutkan dalam labu ukur 50 ml untuk setiap pengenceran.
-  Ditambahkan aquades sampai tanda batas.
-  Dilakukan penimbang terhadap piknometer kosong, piknometer berisi aquades penuh, piknometer berisi NaCl penuh.
-  Dicatat konsentrasinya.
Hasil
-  Dicatat temperaturnya.
BAB 4 Hasil dan Pembahasan

4.1       Hasil
§  Massa piknometer kosong = 30,671 gram
§  Volume piknometer = 10 mL
Pengulangan
Temperatur piknometer + air
Massa piknometer + air
I
II
III
28°C
28,2°C
28,2°C
40,637 gram
40,643 gram
40,640 gram
Rata-rata
28,2°C
40,64 gram

Konsentrasi
Pengulangan
Massa piknometer + larutan NaCl
Temperatur piknometer + larutan NaCl
3 M
I
II
III
41,085 gram
41,086 gram
41,086 gram
28,8°C
29°C
29°C
Rata-rata
40,752 gram
28,9°C
1,5 M
I
II
III
40,772 gram
40,771 gram
40,772 gram
30°C
29,8°C
29,8°C
Rata-rata
40,772 gram
29,6°C
0,75 M
I
II
III
40,354 gram
40,356 gram
40,342 gram
29,6°C
29,6°C
29,6°C
Rata-rata
40,351 gram
29.6°C
0,375 M
I
II
III
40,419 gram
40,416 gram
40,415 gram
29,8°C
29,8°C
29,6°C
Rata-rata
40,417 gram
29,7°C
0,185 M
I
II
III
40,649 gram
40,849 gram
40,841 gram
30,08°C
30,04°C
30,02°C
Rata-rata
40,780 gram
30,05°C

Temperatur
28,9°C
29,6°C
29,6°C
29,7°C
30,05°C
0,995973
0,995766
0,995766
0,995736
0,995646
4.2       Pembahasan
Percobaan ini menggunakan bahan NaCl dan akuades, NaCl berfungsi sebagai zat terlarut dan akuades sebagai pelarut. NaCl digunakan karena merupakan larutan elekrolit kuat yang akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- di dalam air dan mampu menyerap air tanpa adanya penambahan volume suatu larutan, sehingga disebut dengan volume molal parsial semu. Reaksi yang terjadi pada langkah ini adalah : NaCl       Na+ + Cl-.
4.2.1    Pengertian volum molar parsial
Volume molal parsial merupakan volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut dengan zat terlarut, yang ditentukan oleh banyaknya zat mol zat terlarut yang terdapat dalam 1000 gram pelarut.
4.2.2    Hubungan konsentrasi dengan volum molar parsial
Perbedaan konsentrasi larutan NaCl menghasilkan densitas yang berbeda-beda pula. Semakin tinggi konsentrasi larutan, densitasnya juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi suatu larutan, menunjukkan jumlah partikel dalam larutan tersebut semakin banyak. Dengan kata lain, konsentrasi suatu larutan berbanding lurus dengan densitas larutan.
Volume molal parsial sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan tersebut. Semakin tinggi konsentrasinya maka volume molal parsialnya semakin tinggi pula atau dengan kata lain berbanding terbalik. Volume molal dari suatu komponen larutan dapat diukur dengan membagi volume total dari larutan dengan jumlah mol komponen larutannya.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara volume molal parsial dengan molaritas adalah berbanding terbalik.
Konsentrasi suatu zat sangat berpengaruh terhadap berat piknometer yang nantinya akan ditimbang. Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin berat pula piknometer tersebut. Hal ini dapat terjadi karena penyusun dari larutan NaCl yang konsentrasinya besar lebih banyak mengandung zat NaCl daripada air sehingga beratnya menjadi lebih besar, yang kita ketahui bersama bahwa NaCl adalah suatu padatan yang dibuat menjadi larutan, Na Cl memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada air (pelarutnya).
Pada penimbangan piknometer, dilakukan dari larutan yang konsentrasinya kecil ke yang konsentrasinya besar. Hal ini dilakukan agar nantinya berat yang ditimbang untuk yang konsentrasinya kecil tidak dipengaruhi oleh yang konsentrasinya besar. Konsentrasi yang besar dapat mempengaruhi konsentrasi yang kecil berubah menjadi agak besar pula walaupun tidak sama. Tetapi yang konsentrasinya kecil tidak mempengaruhi konsentrasi yang besar. Hal ini dilakukan karena piknometer yang digunakan hanya 1 buah, jadi menghindari terjadinya kesalahan yang besar pada percobaan.
4.2.3    Perbedaan temperatur untuk setiap konsentrasi.
Suhu dan konsentrasi larutan berbanding lurus, jika konsentrasinya tinggi maka suhu larutan juga tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal itu sering dijumpai ketika suatu larutan pekat memiliki suhu yang lebih tinggi disbanding hasil pengencerannya. Namun hasil percobaan, didapatkan suhu yang rendah saat konsentrasinya tinggi, yaitu 28,9°C pada konsentrasi 3 M, 29,6°C pada konsentrasi 1.5 M, 29.6°C pada konsentrasi 0. 75 M, 29,7°C pada konsentrasi 0.375 M, 30,05°C pada konsentrasi 0.185 M. Hal itu disebabkan karena banyak factor,  misalnya pengaruh udara dalam piknometer saat di timbang, kesalahan praktikan saat melakukan percobaan, serta karena alat yang fungsinya tidak optimal lagi.
4.2.4    Sifat termodinamika molal parsial
Ada tiga sifat termodinamik molal parsial utama, yakni : (1) volume molal parsial dari komponen-komponen dalam larutan, (2) entalpi molal parsial (juga disebut sebagai panas diferensial larutan) dan (3) energi bebas molal parsial (disebut potensial kimia).
BAB 5 Penutup

3.1       Kesimpulan
1.     Volume molal parsial adalah volume dimana terdapat perbandingan antara pelarut (solven) dengan zat terlarut (solute).
2.     Konsentrasi berbanding lurus dengan volum molal parsial.
3.     Semakin besar konsentrasi, maka semakin tinggi suhunya. Begitu pula sebaliknya.
3.2       Saran
1.     Seharusnya praktikan menguasai materi praktikum sebelum melakukan percobaan.
2.     Ketelitian dan kecermatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengamatan.
3.     Kebersihan alat menjadi faktor penting dalam mendapatkan data yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. aquades. http://id.wikipedia.org.wiki/Aseton, diakses tanggal 15 Maret 2011.
Anonim. 2011Natrium klorida. http://id.wikipedia.org.wiki/klorofom,diakses tanggal 15 Maret 2011.
Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan soal – soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soekardjo. 1989. Kimia Fisik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nasional, Ensiklopedia. 1988. A- Amy jilid 1. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Sardjoni.2003. Kamus Kimia. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tim Penyusun. 2011. Penuntun Praktikum Kesetimbangan dan Dinamika Kimia. Jember : Laboratorium Kimia Fisika FMIPA UNEJ.
Lampiran Perhitungan

1.     1.    Perhitungan Massa Jenis Larutan
A.    3 M
1.     1,5 M
1.     0,75 M
1.     0,375 M
1.     0,1875 M

1.     2.      Perhitungan Molalitas
2.     3 M
1.     1.5 M
1.     0.75 M
1.     0.375 M
1.     0.1875 M

1.     3.      Perhitungan volum molal semu
1.     Konsentrasi 3 M
2.     Konsentrasi 1,5 M
3.     Konsentrasi 0.75 M
4.     Konsentrasi 0.375M
5.     Konsentrasi 0.1875 M
Grafik volume molal semu vs molalitas

1.     4.      Menghitung nilai volume molal parsial pelarut (V1)
a)                  NaCl 3 M
b)                  NaCl 1.5 M (1/2)
c)                  NaCl 0.75 M (1/4)
d)                 NaCl 0,375 M (1/8)
e)                  NaCl 0.1875 M (1/16)

Grafik volume 1 vs molalitas

1.     5.      Menghitung nilai volume molal parsial pelarut (V2)
2.     NaCl 3 M
1.     NaCl 1.5 M
1.     NaCl 0,75 M
1.     NaCl 0,375 M
1.     NaCl 0,1875 M
Grafik volume 2 vs molalitas